SOLOPOS.COM - Kadirah duduk di depan rumahnya di tepi Jalan Salem-Gemolong, tepatnya di Dukuh Sentulan RT 13, Desa Jeruk, Kecamatan Miri, Kamis (25/7/2013). Nenek berusia 112 tahun ini sangat gemar berpuasa. (Fajar Tulus Widantoro/JIBI/Solopos)

Kadirah duduk di depan rumahnya di tepi Jalan Salem-Gemolong, tepatnya di Dukuh Sentulan RT 13, Desa Jeruk, Kecamatan Miri, Kamis (25/7/2013). Nenek berusia 112 tahun ini sangat gemar berpuasa. (Fajar Tulus Widantoro/JIBI/Solopos)

Kadirah duduk di depan rumahnya di tepi Jalan Salem-Gemolong, tepatnya di Dukuh Sentulan RT 13, Desa Jeruk, Kecamatan Miri, Kamis (25/7/2013). Nenek berusia 112 tahun ini sangat gemar berpuasa. (Fajar Tulus Widantoro/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SRAGEN — Usia bukan halangan bagi Kadirah nenek berusia 112 tahun untuk berpuasa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Di sebuah rumah berdinding kayu di tepi Jalan Salem-Gemolong, tepatnya di Dukuh Sentulan RT 13, Desa Jeruk, Kecamatan Miri tampak seorang nenek yang duduk di bangku depan rumah sambil ditemani segelas teh manis kesukaannya.

Dia adalah Kadirah, nenek berusia 112 tahun itu menikmati suasana pagi bersama sang cicit yang duduk disampingnya.

Saat Solopos.com menemuinya, Kamis (25/7/2013), perempuan beruban itu hanya tersenyum dan berjabat tangan sambil menatap terheran-heran. Konon menurut penuturan dari anak dan cucunya, perempuan kelahiran 1901 ini sangat gemar sekali berpuasa. Selain itu, nenek tersebut jarang sekali mengeluh dalam mengarungi kehidupan.

“Ibu saya tidak punya cekelan [pegangan ilmu] apa-apa, kami sekeluarga sudah berulang kali menanyakan itu. Seingat saya ibu senang sekali puasa sunah Senin Kamis dari waktu masih muda dulu hingga tua, tetapi sejak sepuluh tahun terakhir sudah tidak pernah lagi puasa karena khawatir dengan badannya yang semakin melemah,” jelas Wadiyem, anak bungsu dari lima bersaudara.

Menurut Wadiyem, tidak ada pantangan makanan, apapun makanan yang sudah disediakannya dimakannya seperti daging, sayur-sayuran, tempe, tahu dan makanan-makanan lainya. Namun ibunya tersebut hanya mau minum teh manis. Air putih pun ia tidak mau.

“Waktu itu ibu pernah bilang, siapa yang mau seperti ini [hidup hingga umur 100 lebih] ya puasa,” imbuhnya.

Kadirah tinggal bersama anak bungsu dan cucu semata wayangnya. Suaminya telah meninggal bertahun-tahun silam semenjak zaman perang ketika Indonesia menghadapi Jepang. Dari buah pernikahanya, Kadirah dikaruniai lima orang anak. Namun sayang, keempat anaknya sudah meninggalnya telebih dahulu.

Pada waktu itu, untuk menghidupi kelima anaknya, Kadirah membawa garam dalam jumlah besar ke daerah di Boyolali yang ditempuhnya dengan berjalan kaki. Garam-garam tersebut ia gendong dan kemudian ditukarkan dengan hasil bumi.

Selain itu, Kadirah mencari dan mengumpulkan daun-daun pandan di sekitar rumahnya. Daun-daun pandan tersebut kemudian dikeringkannya. Setelah daun pandan kering, daun tersebut dianyamnya menjadi sebuah tikar untuk ditukar dengan hasil bumi.

Ia mengatakan meskipun sudah berusia lanjut, ibunya masih mampu beraktivitas layaknya mandi, buang air besar, dan menyapu halaman. Tidak jarang pula saat malam hari, Kadirah duduk didepat televisi. Meskipun sudah tidak mampu mendengar dengan jelas, Kadirah masih bisa menikmati tayangan televis.

“Mbah cuma ikut nonton saja, ikut duduk bareng-bareng di lantai. Saya sudah melarangnya untuk tidak melakukan pekerjaan yang terlalu berat supaya tidak terlalu capek,” ujar Suyatno,54, cucu Kadirah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya