SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Beban yang harus ditanggung masyarakat Indonesia tampaknya akan kian memberat. Juli mendatang, tarif dasar listrik (TDL) untuk beban tertentu naik mulai dari 10-20%. Jelas, daya fenomena ini akan membuat daya  beli mereka turun dengan drastisnya. Kualitas hidup mereka jauh lebih menurun ketimbang era sebelumnya.

Kondisi keuangan rata-rata keluarga di Indonesia menjadi kian berat. Sayang, kondisi semacam ini nampaknya tidak dipahami oleh pemerintah. Buktinya, dalam waktu dekat ini, pemerintah berencana juga berencana mengurangi subsidi untuk BBM, yang selama ini disubsidi pemerintah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Maklum, subsidi dari pemerintah untuk BUMN kelistrikan ini kian mengecil saja dari tahun ke tahun.  Seperti diketahui, pemerintah dan DPR telah menyepakati subsidi listrik dalam APBN-P 2010 sebesar Rp55,1 triliun atau turun dari kesepakatan awal Rp56,1 triliun. Besaran subsidi sebesar Rp55,1 triliun tersebut dengan catatan TDL naik rata-rata 10% untuk semua golongan pada bulan Juli 2010. Oleh sebab itulah akhirnya pemerintah (melalui PLN) berencara menaikkan TDL (sudah disetujui DPR) mulai Juli 2010 mendatang. Lagi-lagi masyarakat yang terkena getahnya. Rakyat kembali “kesetrum” listrik PLN.

Beban masyarakat
Jika kita mau jujur, rakyat yang kembali “tersetrum” listrik PLN ini jelas menanggung beban yang tidak kecil. Beban yang semestinya ditanggung oleh pemerintah, kini dialihkan ke masyarakat konsumen (kecil) dengan dalih keterbatasan anggaran pemerintah untuk bisa memberikan subsidi kepada rakyat banyak. Inilah bentuk kesalahan fatal, yang semestinya disadari oleh para pembuat kebijakan di negeri ini. Rakyat senantisa dijadikan tumbal dan dikorbankan, sementara pemerintah dengan seenaknya mengurangi berbagai bentuk subsidi, yang sebenarnya masih sangat dibutuhkan.

Padahal, kenaikan TDL juga membawa efek domino yang tidak kecil. Perhitungan menunjukkan, bahwa kontribusinya terhadap angka inflasi sekitar 0,4-0,6%. Bayangkan saja, komponen kenaikan pembayaran listrik (TDL) mungkin sangat kecil jika dibandingkan dengan kenaikan harga barang dan jasa  sebagai efek domino dari kenaikan TDL ini.

Berbagai biaya hidup jelas akan meningkat drastis sering dengan kenaikan tarif listrik ini dan implikasi ikutannya berupa kenaikan inflasi. Belum lagi beban akan ditambah dengan  rencana  kenaikan harga bahan pokok lain sepertti gas elpiji, pembatasan BBM bersubsidi dan lain-lain.

Memang, pelanggan kecil hingga daya 900 Volt Ampere (VA) tidak mengalami kenaikan. Namun, efek spiral kenaikan harga pascakenaikan TDL akan berpengaruh signifikan terhadap perekonomian mereka. Dengan demikian jelas, ekonomi rumah tangga masyarakat golongan bawah akan semakin remuk redam. Daya beli mereka yang selama ini sudah sangat menurun, akan kian terpuruk.

Kualitas kehidupan mereka akan semakin menurun dan bukan tidak mungkin masyarakat akan semakin termajinalkan. Mereka benar-benar terlempar dari kehidupan yang layak dan memasuki kehidupan yang semakin pilu dan sengsara. Angka kemiskinan akan meningkat tajam, seiring dengan menurunnya daya beli masyarakat golongan ekonomi bawah ini.

Di tengah situasi yang kurang menguntungkan ini, wajar kalau muncul pertanyaan kritis, siapa sebenarnya yang harus menanggung beban kenaikan TDL akibat pengurangan subsidi pemerintah ini. Apakah hanya masyarakat konsumen semata sebagai langkah terakhir kalau keuangan pemerintah sudah tidak memungkinkan lagi menyubsidi sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak? Rasa-rasanya kok tidak seperti itu. Langkah lainnya sebenarnya bisa dilakukan di tengah-tengah maraknya wacana (diskursus) mengenai gencarnya pemerintah melakukan langkah pemberantasan korupsi belakangan ini.

Langkah yang dimaksudkan adalah pembenahan masalah internal yang selama ini membelit tubuh BUMN kelistrikan ini. Jadi, pilihan (alternatif) dari pemerintah sebenarnya cukup banyak ketimbang hanya sekadar menaikkan harga. Misalnya dengan membereskan berbagai bentuk pencurian daya listrik serta kebocoran listrik, yang konon mencapai sekitar 10%-20 % dari seluruh daya terpakai PLN. Kalau masalah ini bisa dibereskan kemungkinan besar akan ada tambahan pemasukan (income) bagi PLN dalam jumlah yang cukup besar.

Apabila kebocoran itu melibatkan oknum orang dalam PLN, maka tindakan hukum yang tegas perlu dilakukan. Termasuk di dalamnya berbagai bentuk KKN yang terjadi di tubuh PLN, yang selama ini belum tersentuh hukum sama sekali, harus dibabat  habis. Dengan cara semacam itu, berbagai bentuk kebocoran anggaran dan juga misalokasi anggaran pada berbagai proyek di tubuh BUMN listrik ini akan dapat dicapai dan pada ujung-ujungnya efisiensi anggaran akan dapat diraih. Dengan munculnya efisiensi anggaran, maka berbagai bentuk ekonomi defisit akan bisa dihindari dan ujung-ujungnya PLN akan mampu meraih laba (profit), tanpa harus mengorbankan rakyat banyak.

Keterbatasan subsidi yang kemudian  kemudian berpengaruh terhadap kenaikan biaya produksi PLN tidak seharusnya dibebankan kepada masyarakat dalam bentuk kenaikan TDL. Pemerintah dalam konteks semacam ini harus mengupayakan sedemikian rupa, sehingga TDL tidak harus naik dalam waktu dekat ini. Momentumnya yang berdekatan dengan pembatasan pembelian premium (bensin bersubsidi)  rasa-rasanya kurang tepat. Beban yang harus ditanggung masyarakat masih cukup besar. Menunda sembari mencari terrobosan lain adalah langkah yang paling tepat dan bijaksana. Semoga pemerintah mempertimbangkan masalah  ini dengan matang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya