SOLOPOS.COM - Roma Ulinnuha (ISTIMEWA)

Harianjogja.com, JOGJA-Para teroris pada peristiwa 11 September 2001 menerapkan kebodohannya ketika melakukan penafsiran dengan meminjam agama yang menyisakan tragedi. Di sisi lain, perang terhadap terorisme yang menyesatkan dan berubah menjadi perang negara adalah bentuk kealpaan yang lain. Kedua sisi kebodohan itu mengingatkan terhadap bahaya dari para fundamentalis.

“Contohnya ketika melihat definisi konsep perang dan toleran setelah 11 September tersebut. Pada tingkat analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis/CDA), kata perang dan toleran lebih kepada pencitraan penanda dari konflik berkepanjangan,” papar Roma Ulinnuha pada ujian terbuka program doktor Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin (25/11/2013).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Roma yang mempertahankan disertasinya yang berjudul American Muslims Redefining Religion and Identity (Critical Discourse Analysis on 9/11 Uproar) ini menjelaskan, memahami wacana itu sebagai “suatu kehendak untuk kuasa”, maka hal ini berarti bahwa terdapat kemungkinan negosiasi dan kontestasi. Berdasar pada empat praktik diskursif dari masing-masing wacana negara, sastra, Fiqh dan dialog lintas-iman, penelitian ini mengungkap bahwa kesadaran sosial itu muncul dari triangulasi dan intertekstualitas. Triangulasi beragam pernyataan ini dan relasinya dengan teori-teori sosial tentang the self dan agensi memberikan penekanan aspek intertekstualitas, dalam sudut pandang tingkat analisis meso CDA, yang menunjukkan redefinisi reformasi sosial.

“Di tingkat analisis eksplanasi CDA, wacana pertama menekankan aspek sosial berupa alternatif kebijakan luar negeri yang perlu diarahkan untuk menyebarluaskan perdamaian, membatasi peperangan dan agresi dan meminimalkan konflik,”papar staf pengajar di UIN Sunan Kalijaga tersebut dalam rilis yang diterima Harianjogja.com, Senin.

Dalam perspektif CDA, negara melihat Muslim Amerika sebagai bagian tak terpisahkan dari warga Amerika dan mendapatkan jaminan keamanan. Bagian dari upaya tersebut adalah dengan menjelaskan Jihad yang diasosiasikan dengan tindak teror seperti pada peristiwa 11 September. Sedangkan model mental dari sastra, yaitu wacana budaya popular, memunculkan nilai-nilai sosial. Nilai-nilai sosial ini antara lain keadilan, patriotisme, kesetaraan dalam aktifitas sosial amal, solidaritas serta idealita berbangsa dan rekonstruksi kesadaran masa lampau dalam novel Kolocotronis dan cara pandang warga Amerika.

“Di sini berbagai agensi terungkap seperti pada resistensi, improvisasi, inovasi serta kreatifitas yang dijunjung,” urainya.

Sementara itu pada model mental sastra, Muslim Amerika merupakan warga Amerika yang terpengaruh luas dengan peristiwa 11 September. Muslim Amerika berupaya menjadi Muslim yang terbuka dan perlu meredefinisi identitas terkait agama melalui beragam identitas. Selanjutnya dalam praktik siskursif wacana Fiqh, penelitian ini menekankan Fiqh Aqalliyyat sebagai tawaran sumber yang damai di tengah penafsiran radikal.  Bentuk fiqh ini berkenaan dengan aspek etis yang mengingatkan pada konsep kesatuan ummah dan fleksibilitas penafsiran dan konteks.

“Sedangkan dalam wacana lintas-iman menunjukkan produktifitas dalam mewadahi berbagai aktifitas sosial dengan konteks budaya yang berbeda,”kata Roma.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya