SOLOPOS.COM - Wiyono menunjukkan batik tulis klasik hasil karyanya di rumahnya di Kelurahan Serengan, Serengan, Solo, Senin (8/10/2012). (Muhammad Khamdi/JIBI/SOLOPOS)


Wiyono menunjukkan batik tulis klasik hasil karyanya di rumahnya di Kelurahan Serengan, Serengan, Solo, Senin (8/10/2012). (Muhammad Khamdi/JIBI/SOLOPOS)

Keberadaan batik tulis klasik di Solo semakin ditinggalkan pengrajin batik. Sebagian besar pengrajin batik beralih menggunakan alat modern guna memproduksi batik yang akhirnya menghasilkan batik cap maupun printing.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Namun tidak halnya dengan R Wiyono. Pria yang menempati rumah di Jl Srikandi, No 5, Serengan, Solo ini tetap tekun memproduksi batik tulis dengan alat klasik berupa canting dan malam. Produk batik tulis karya Wiyono merupakan batik peninggalan nenek moyang, antara lain batik motif Wahyu Tumurun, batik truntum sidomulyo, sidomukti dan lain sebagaianya.

“Sekarang jarang sekali orang yang memproduksi batik tulis. Mungkin karena prosesnya lama, tapi bagi saya memproduksi batik tulis merupakan salah satu upaya untuk nguri-uri warisan budaya jawa,” papar Wiyono yang juga selaku ketua RT 003/RW 015, saat berbincang dengan Solopos.com di rumahnya, Senin (8/10/2012).

Wiyono menyakini batik tulis klasik tidak mungkin punah. Sebab, banyak orang jawa yang masih membutuhkan batik tersebut. Batik tulis klasik yang diproduksi Wiyono mayoritas dipesan orang untuk baju pengantin, seragam kantor, seragam sanggar seni dan berbagai acara hajatan lainnya.

“Walaupun proses produksinya agak lama, namun sampai saat ini pemesanan kain batik tidak pernah berhenti. Hingga saya kewalahan melayaninya.”

Selain pelanggan perorangan, Wiyono mempunyai pelanggan tetap yakni para bakul batik di Kota Solo. Bahkan, pelanggan batik Wiyono menembus luar negeri, Jepang dan Belanda.  “Wisatawan asing dari luar kerap datang ke sini untuk membeli batik. Mereka membeli batik untuk latihan menari. Yang membuat saya heran, penari asal Jepang paham dan pandai membedakan batik tulis dengan batik cap maupun printing. Caranya dengan mencium kain batik yang hendak dibeli, mereka niteni,” jelas Wiyono dengan senyum.

Wiyono menceritakan, kerajinan batik tulis hasil karyanya merupakan warisan orangtua. “Saya belajar membatik dari kecil hingga akhirnya mempunyai enam karyawan. Sampai saat ini, orang pemerintahan baik dari menteri kerap datang ke sini untuk membeli batik tulis ini,” paparnya sembari menunjukkan batik tersebut.

Cita-cita Wiyono dalam melestarikan warisan budaya jawa [dengan produksi batik tulis] tak semulus yang diharapkan. Wiyono mengakui terkendala dengan sumber daya manusia (SDM) yang kesulitan membatik tulis. “Usia yang muda-muda sudah masuk pabrik, sedangkan usia yang tua semakin langka. Namun dalam satu bulan, saya dibantu karyawan bisa memproduksi batik sebanyak 20 potong,” ujar salah satu cucu dari maestro keroncong Gesang Martohartono.

Kini, Wiyono tetap bertahan memproduksi batik tulis klasik ditengah persaingan produksi batik modern yang tiap bulan berganti motif. Semangat juang Wiyono pun tak pernah padam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya