SOLOPOS.COM - Wakil Ketua MK Saldi Isra menjadi penceramah kunci dalam Seminar Nasional Andalas Law Competition yang digelar Komunitas Basilek Lidah (Kombad) Justicia, Jumat (6/10/2023). (Humas MK/mkri.id)

Solopos.com, JAKARTA–Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan hakim konstitusi Saldi Isra yang diadukan terkait dissenting opinion putusan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tidak terbukti melanggar kode etik.

Ketua Majelis Kehormatan MK Jimly Asshiddiqie, Selasa (7/11/2023), dalam sidang pembacaan putusan MKMK menyatakan Saldi Isra tidak terbukti melanggar kode etik terkait dissenting opinion. Namun Saldi terbukti tidak menjaga keterangan atau informasi RPH.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Jimmly menambahkan bahwa hakim terlapor juga membiarkan praktik terjadinya pelanggaran kode etik. Oleh karena itu, para hakim terlapor terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama prinsip kepantasan dan kesopanan.

“Amar putusan, menyatakan para hakim terlapor tidak terbukti melanggar kode etik hakim konstitusi terkait dissenting opinion. Kedua secara bersama-sama terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Menjatuhkan sanksi berupa teguran kolektif kepada para hakim terlapor,” ucap Jimly.

Sore ini, MKMK membacakan putusan dugaan pelanggaran etik hakim MK putusan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Adapun MKMK membacakan 3 putusan pada sidang hari ini.

Putusan pertama yang dibacakan terkait dengan aduan terhadap enam hakim konstitusi yakni Manahan Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Wahidudin Adam, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan M. Guntur Hamzah. Mereka dikenai sanksi berupa teguran kolektif karena terbukti melakukan pelanggaran etik hakim MK

Sedangkan putusan kedua terkait aduan terhadap hakim konstitusi Saldi Isra yang diadukan terkait dissenting opinion.

Diberitaka Sebelumnya, putusan MK bernomor 90/PUU-XXI/2023 menuai polemik karena dianggap memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekaligus keponakan Ketua MK Anwar Usman, untuk maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024.

Dampak dari putusan tersebut, MK menuai protes dan mendapatkan sejumlah laporan mengenai dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim MK. Apalagi ada indikasi teknis yang dilanggar dalam memproses putusan tersebut oleh hakim MK.

Untuk memproses laporan tersebut, akhirnya dibentuk MKMK ad hoc pada Selasa (24/10/2023). Jimly Asshiddiqie ditunjuk sebagai ketua, sedangkan Wahiduddin Adams dan Bintan R. Saragih sebagai anggotanya. Jimly Asshiddiqie sebelumnya sempat menyampaikan bahwa MKMK tak bisa anulir putusan MK.

“Di antara laporan itu ada permintaan untuk mengubah pencapresan sampai begitu, padahal kita ini hanya kode etik, hanya menegakkan kode etik hakim, bukan mengubah keputusan MK,” ujarnya di Jakarta, pekan lalu.

Pada kesempatan sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas dan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari menyebut berdasarkan undang-undang, hanya terdapat tiga kemungkinan putusan etik MKMK.

“Secara undang-undang Mahkamah Konstitusi kan hanya tiga jenis, yaitu peringatan lisan, peringatan tertulis, dan sanksi berat berupa pemberhentian dengan tidak hormat,” katanya saat dihubungi, Senin (6/11/2023).

Dia menjelaskan koridor putusan MKMK terbatas pada persoalan etika hakim. Keputusan itu akan berlaku langsung terhadap hakim yang diperkarakan. Dengan demikian, apa pun putusan MKMK, hal itu tidak dapat langsung berdampak kepada putusan MK tentang batas usia capres-cawapres.

“Kalau kemudian dikatakan langsung berdampak pada putusan MK nomor 90, tidak bisa. Karena sifat putusan MK kan final and binding, sementara putusan MKMK hanya soal etika hakim. Jadi, kalau kemudian dikatakan bahwa berdampak langsung ya sudah bisa dipastikan tidak mungkin,” terangnya.

Kendati demikian, Feri menilai bahwa dampak tidak langsung bisa terjadi dalam konteks substansi jalannya putusan bernomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres itu.

“Apakah bisa berdampak pada substansi proses jalannya putusan [nomor] 90? Ya bisa saja. Bagaimanapun, kalau MKMK memutuskan terjadi pelanggaran etik, putusan yang dijatuhkan nomor 90 dilakukan oleh orang yang tidak punya etika,” lanjutnya.

Untuk menyelesaikan hal tersebut, MK lazimnya akan memperbaiki putusan sebelumnya dengan putusan yang baru. Dengan kata lain, MK mempunyai kewajiban melakukan perbaikan putusan apabila kembali menerima perkara dengan objek yang sama.

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul Saldi Isra Tak Terbukti Langgar Etik Soal Dissenting Opinion Putusan MK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya