SOLOPOS.COM - Sejumlah kader Jikajiting yang dibentuk Puskesmas Mondokan, Sragen, memeriksa tinggi badan anak balita saat kegiatan posyandu di wilayah Mondokan, Sragen, belum lama ini. (Istimewa/Puskesmas Mondokan)

Solopos.com, SRAGEN — Angka stunting di Kecamatan Mondokan, termasuk yang tinggi di Kabupaten Sragen. Berangkat dari masalah itu, Puskesmas Mondokan membuat terobosan untuk menekan angka stunting lewat program pemberdayaan masyarakat bernama Siji Kader Siji Stunting (Jikajiting).

Program yang diinisiasi pada 2019 itu awalnya hanya memiliki 55 kader kesehatan dengan tantangan 594 kasus stunting. Hingga 2022, kader yang dimiliki Puskesmas Mondokan menjadi 290 orang atau naik hampir lima kali lipat.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Petugas gizi atau nutrisionis penyelia Puskesmas Mondokan, R.R. Desy Aricahyani, mewakili Kepala Puskesmas Mondokan, Sragen, dr. Mey Prastanti, mengungkapkan Jikajiting ini pemberdayaan masyarakat untuk menjadi tenaga pendamping keluarga yang anggotanya rawan terkena stunting.

Inisiasi pemberdayaan masyarakat itu, terang Desy, dilakukan dengan membentuk kelompok masyarakat menjadi kader pendamping di wilayah masing-masing. Mereka dilatih untuk bisa mendampingi, mengadvokasi hingga mengevaluasi pendampingan.

“Awalnya, kami dihadapkan pada hasil pemantauan status gizi pada Agustus 2018 menunjukkan angka 629 balita dari 2.248 balita di Mondokan mengalami gangguan pertumbuhan atau stunting. Kemudian ibu hamil yang kekurangan energi kronis (KEK) sebesar 22% dan bayi lahir yang tinggi badannya kurang dari normal mencapai 34,8%,” jelas Desy.

Desy menyadari berdasarkan data tersebut maka persoalan stunting di Mondokan harus mendapat perhatian serius dan dicarikan penyelesaian. Dia mengevaluasi pelaksanaan pemberian makanan tambahan (PMT) bagi bayi bawah lima tahun (balitas) yang mengalami stunting hasilnya kurang maksimal. “Kami kemudian mengembangkan program pendampingan keluarga dengan sasaran keluarga berisiko stunting. Masyarakat diberdayakan menjadi tenaga pendamping dengan sebutan Jikajiting,” ujarnya.

Awalnya hanya 55 kades yang dibentuk mulai 2019. Jumlah itu bertambah setiap tahunnya. Di 2021 ada 285 kader dan menjadi 290 orang pada 2022. Semakin banyak tenaga pendampingnya, jelas dia, berkorelasi terhadap turunnya angka stunting di Kecamatan Mondokan.

Kasus stunting di Mondokan secara kumulatif sebanyak 594 kasus di 2019, turun menjadi 562 kasus di 2020. Setahun berikutnya turun lagi menjadi 414 kasus  dan tinggal 402 kasus di akhir 2022 lalu.

Progres penurunan stunting di tingkat desa bervariatif. Seperti di Desa Sono, penurunannya cukup signifikan dari 64 kasus sekarang tinggal 27 kasus. Kemudian di Desa Jekani yang awalnya 96 kasus sekarang tinggal 15 kasus stunting.

Laju penurunan kasus stunting selama 2022 tidak signifikan, hanya turun 12 kasus. Desy menerangkan hal itu disebabkan dua hal, di antaranya perubahan alat ukur yang digunakan. Alat ukur yang digunakan sebelum 2022 belum terstandar, baru tahun lalu pakai yang standar.

“Penyebab kedua kami tidak mendapatkan bantuan PMT [program makanan tambahan] biskuit dari Kementerian Kesehatan pada 2022 sehingga hanya mengandalkan PMT dari dana desa selama 90 hari. Padahal untuk wilayah Mondokan yang notabene kondisi sosial ekonominya rendah peran PMT menjadi berarti,” katanya.

Kabid Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan (Dinkes) Sragen, dr. Nengah Adnyana Oka Manuaba, mengatakan peran Dinkes pada penanganan stunting lebih pada pembinaan dan memenuhi standar peralatan yang memadai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya