SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO— Masyarakat Peduli Pendidikan Solo (MPPS)  mengelar audiensi dengan Disdikpora Kota Solo di Kantor Disdikpora Solo, Jumat (15/11/2013). Mereka menyampaikan hasil pengaduan masyarakat berkaitan dengan perbaikan pelayanan publik sektor pendidikan.

Berdasarkan pantauan solopos.com, Jumat (15/11), Pertemuan berlangsung di ruang rapat kepala Disdikpora Solo. Kepala Disdikpora Solo, Etty Retnowati, langsung menerima perwakilan MPPS ini. Dalam pertemuan itu semua Kepala bidang (Kabid) mendampingi kepala dinas.

Promosi Usaha Endog Lewo Garut Sukses Dongkrak Produksi Berkat BRI KlasterkuHidupku

MPPS menyampaikan satu bendel laporan berupa kajian dan rekomendasi untuk perbaikan pelayanan publik sektor pendidikan. Koordinator MPPS, Adi Cahyo, mengungkapkan pada 2013 MPPS banyak melakukan diskusi rutin dan mendapatkan banyak pengaduan khususnya pendidikan dasar dan menengah. Dia menyayangkan berbagai persoalan menjadi rahasia umum tanpa pemecahan.

“Banyak kotak pengaduan ternyata tidak banyak yang memanfaatkannya. Meskipun kotak pengaduan itu kosong, bukan berarti tak ada permasalahan pendidikan. Masyarakat masih tidak berani mengungkapkan. Ada masyarakat yang menyampaikan pengaduannya ke LSM, media massa, atau walikota tetapi masih bisa dihitung,” terangnya.

Adi mengungkapkan selama Mei-November, 44 warga telah mengadu ke MPPS.  Beberapa poin pengaduan yakni persoalan pembiayaan,  faktor paling memberatkan masyarakat yakni biaya studi tour  mencapai 30 %, diikuti sumbangan sukarela 27 %, SPP dan sumbangan wajib masing-masing 18 %, serta  pembiayaan buku-buku 7 %.

Persoalan administrasi, 68 % responden menyatakan tidak mengalami permasalahan administrasi, tetapi 32 % sisa menyatakan bermasalahan dengan administrasi meliputi pembayaran tanpa kwitansi, permasalahan administrasi dalam proses penerimaan murid, tarikan uang pembangunan dan uang gedung sebagai syarat administrasi, dan pungutan kepada orangtua/murid sebagai kelengkapan administrasi.

Sementara itu, berkaitan Biaya Operasional  Standar Pendidikan (BOSP) Solo tingkat SD-SMA/SMK masih banyak masyarakat tak mengetahui. Sebanyak 71 % tak tahu dan hanya 29 % tahu.

“Maka tak heran ketika ditanya perbandingan SPP dan BOSP banyak responden menjawab tak tahu 63 %, SPP lebih besar BOSP ada 18 %, SPP sama dengan BOSP 12 %, dan lebih kecil BOSP ada 7 %,” terangnya.

Terkait uang gedung, 61 % responden menjawab ada, hanya 29 % menjawab tidak ada. Ihwal uang gedung, MPPS juga  menyoal sumbangan sukarela tetapi dengan besaran dan waktu yang ditentukan.

Besarannya berbeda-beda dari Rp250.000-Rp1.500.000, bahkan ada yang tembus Rp3.200.000.
“Kalau sumbangan sukarela tetapi jumlah dan waktu ditentukan apa ini bukan pungutan! Banyak pengadu merasa keberatan dengan tarikan ini,” jelasnya.

Persoalan lain yang dihadapi masyarakat adalah minimnya pelibatan dalam penyusunan kebijakan. Sebagian besar responden menjawab tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan sekolah. Sebanyak 62 % menyatakan tidak pernah, hanya 38 % menyatakan  dilibatkan.


Berkaitan tempat pengaduan, responden kebanyakan mengadu ke sekolah 54 %, Komite sekolah 22 %, Disdikpora  8 %, DPKS 7 %, sementara media massa, LSM, DPRD, masyarakat setara di 2%, posisi terendah di jejaring sosial 1%.
Secara umum MPPS menuliskan 10 poin persoalan yakni meliputi biaya, administrasi, BOSP, uang gedung, fasilitas pendidikan, prosedur pendidikan, permasalahan menempuh pendidikan, pelibatan penyusunan kebijakan, tanggapan kurikulum baru, dan tempat pengaduan pendidikan.

Berdasarkan beberapa poin tersebut MPPS mendesak pembiayaan berupa SPP, Studi tour, sumbangan sukarela, sumbangan wajib dan buku-buku agar ditinjau ulang dan diawasi. Administrasi tak dicampuradukan dengan pembiayaan pendidikan. Sosialisasi BOSP lebih  digencarkan agar masyarakat dapat ikut mengawasi. Meninjau ulang penarikan uang gedung atau SPS karena meresahkan dan memberatkan masyarakat.

Disdikpora Kota Solo didesak memperjelas pengertian dan implementasi antara sumbangan dan pungutan karena praktek lapangan banyak sumbangan yang besarannya ditentukan.

Sementara itu Kepala Disdikpora Solo, Etty Retnowati, saat Espos hubungi, Jumat, mengatakan menerima pengaduan MPPS tersebut sebagai bahan evaluasi dan masukan untuk perbaikan layanan pendidikan. Tetapi ia mengungkapkan butuh proses untuk menyelesaikannya persoalan yang masih ada.

Berkaitan praktek sumbangan yang lebih mendekati pungutan misalnya, Etty menganggap bahwa sudah cukup jelas perbedaannya. Sehingga semua dikembalikan kepada aturan yang sudah ada. Terkait adanya penyelewengan, lembaga seperti MPPS  atau Disdikpora siap menerima pengaduan dan masukan dari masyarakat.

“Tentang orang tua yang tidak dilibatkan dalam penentuan kebijakan sekolah, kan di sekolah sudah ada komite sebagai medianya. Maka komite sekolah harus diberdayakan, komite harus jalan. Saat rapat komite orangtua juga harus datang,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya