SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Istimewa)

Solopos.com, BOYOLALI — Pungutan untuk proyek operasi nasional agraria (Prona) tidak hanya terjadi di Garangan, Wonosegoro, Boyolali. Di Desa Sumur, Musuk, pungutan Prona justru mencapai Rp550.000 per sertifikat.

Dari informasi yang dihimpun Solopos.com dari sejumlah warga Desa Sumur, Senin (7/4/2014), pembayaran biaya sebesar Rp550.000 itu sudah terjadi sejak program sertifikasi tanah tahap pertama tahun lalu. Salah seorang warga Dukuh Kadirejo RT 0001/RW 001, Sumur, Parto Wiyono, 65, menyampaikan bulan lalu pihaknya ikut mengajukan program sertifikasi tanah. “Saya mengajukan dua sertifikat. Untuk saya dan anak saya. Dua sertifikat itu biayanya Rp1.100.000,” kata Parto, saat ditemui Solopos.com, Senin.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dia juga menyebutkan sudah membayar lunas biaya tersebut. Pembayaran langsung dilakukan di kantor desa. “Saya bayar sendiri. Bayar langsung, tapi saya tidak tahu penggunaan biaya itu untuk apa saja.” Selain biaya yang dibebankan oleh pemerintah desa sebesar Rp550.000 itu, dia menyebutkan tidak ada biaya lain. Saat ini pihaknya masih menunggu terbitnya sertifikat tanah yang dia ajukan. “Untuk pengukuran sudah dilakukan dari petugas.”

Warga lain di Kadiloko, RT 003/RW 001 Desa Sumur, yang enggan disebutkan namanya juga mengatakan ada biaya sekitar Rp550.000 untuk pembuatan sertifikat tanah secara massal itu. Hanya saja, selama ini dia sebagai pemohon tidak pernah tahu penggunaan biaya tersebut. “Sosialisasi saja tidak pernah ikut. Soal kesepakatan biaya itu saya juga tidak tahu. Hanya disuruh tanda tangan saja, sudah.”

Padahal semestinya, seberapapun biaya yang dibebankan kepada pemohon untuk pensertifikatan tanah itu harus ada kesepakatan antara panitia dengan masyarakat pemohon. Dia pun menyampaikan bahwa untuk program pensertifikatan tanah kali ini dia mengajukan dua sertifikat untuk dirinya dan untuk adiknya.

Dari informasi yang diterima Solopos.com, untuk kegiatan Prona memang ada beberapa biaya yang dibebankan kepada masyarakat sebagai pemohon sertifikat. Sedangkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai penyelenggara menetapkan biaya Rp0.  Biaya yang dibebankan kepada masyarakat biasanya untuk biaya materai, saksi, pematokan tanah, dan biaya lain. Sehingga, setiap desa harus membuat laporan pertanggungjawaban atas biaya yang ditarik dari para pemohon.

Kades Sumur, Siti Prihatin, saat ditemui di ruang kerjanya membenarkan bahwa pihaknya menarik biaya Prona sebesar Rp550.000 per sertifikat. Biaya-biaya itu diklaim sebagai biaya akomodasi. “Dan biaya itu hanya titipan. Titipan akomodasi untuk pelaksanaan semua kegiatan yang menyangkut prona. Masak panitia lembur selama dua bulan ndak ada bayarannya. Toh kalau ada sisa, uang itu akan dikembalikan kepada masyarakat,” kata Siti.

Selain sebagai biaya akomodasi, pungutan Rp550.000 itu juga untuk membiayai kebutuhan lain seperti membeli materai, membayar saksi dan sebagainya. Dia menyebutkan, tahun ini pihaknya mengajukan sertifikat untuk 260 bidang tanah. “Kami memang berusaha mendapatkan jatah Prona sebanyak-banyaknya karena kesadaran masyarakat untuk mensertifikatkan tanah sangat rendah.”

Pungutan di Sumur Mencapai Rp550.000

BOYOLALI—Pungutan untuk proyek operasi nasional agraria (Prona) tidak hanya terjadi di Garangan, Wonosegoro. Di Desa Sumur, Musuk, pungutan Prona justru mencapai Rp550.000 per sertifikat.

Dari informasi yang dihimpun Espos, dari sejumlah warga Desa Sumur, Senin (7/4), pembayaran biaya sebesar Rp550.000 itu sudah terjadi sejak program persertifikatan tanah tahap pertama tahun lalu. Salah seorang warga Dukuh Kadirejo RT 0001/RW 001, Sumur, Parto Wiyono, 65, menyampaikan sekitar bulan lalu pihaknya ikut mengajukan program pensertifikatan tanah. “Saya mengajukan dua sertifikat. Untuk saya dan anak saya. Dua sertifikat itu biayanya Rp1.100.000,” kata Parto, saat ditemui Espos, Senin.

Dia juga menyebutkan, sudah membayar lunas biaya tersebut. Pembayaran langsung dilakukan di kantor desa. “Saya bayar sendiri. Bayar langsung, tapi saya tidak tahu penggunaan biaya itu untuk apa saja.” Selain biaya yang dibebankan oleh pemerintah desa sebesar Rp550.000 itu, dia menyebutkan tidak ada biaya lain. Saat ini pihaknya masih menunggu terbitnya sertifikat tanah yang dia ajukan. “Untuk pengukuran sudah dilakukan dari petugas.”

Warga lain di Kadiloko, RT 003/RW 001 Desa Sumur, yang enggan disebutkan namanya juga mengatakan bahwa ada biaya sekitar Rp550.000 untuk pembuatan sertifikat tanah secara massal itu. Hanya saja, selama ini dia sebagai pemohon tidak pernah tahu penggunaan biaya tersebut. “Sosialisasi saja tidak pernah ikut. Soal kesepakatan biaya itu saya juga tidak tahu. Hanya disuruh tanda tangan saja, sudah.”

Padahal semestinya, seberapapun biaya yang dibebankan kepada pemohon untuk pensertifikatan tanah itu harus ada kesepakatan antara panitia dengan masyarakat pemohon. Diapun menyampaikan bahwa untuk program pensertifikatan tanah kali ini dia mengajukan dua sertifikat untuk dirinya dan untuk adiknya.

Dari informasi yang diterima Espos, untuk kegiatan Prona memang ada beberapa biaya yang dibebankan kepada masyarakat sebagai pemohon sertifikat. Sementara, dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai penyelenggara biayanya adalah Rp0.  Biaya yang dibebankan kepada masyarakat biasanya untuk biaya materai, saksi, pematokan tanah, dan biaya lain. Sehingga, setiap desa harus membuat laporan pertanggungjawaban atas biaya yang ditarik dari para pemohon.

Kades Sumur, Siti Prihatin, saat ditemui Espos di ruang kerjanya membenarkan bahwa pihaknya menarik biaya Prona sebesar Rp550.000 per sertifikat. Biaya-biaya itu diklaim sebagai biaya akomodasi. “Dan biaya itu hanya titipan. Titipan akomodasi untuk pelaksanaan semua kegiatan yang menyangkut prona. Masak panitia lembur selama dua bulan ndak ada bayarannya. Toh kalau ada sisa, uang itu akan dikembalikan kepada masyarakat,” kata Siti.

Selain sebagai biaya akomodasi, pungutan Rp550.000 itu juga untuk membiayai kebutuhan lain seperti membeli materai, membayar saksi dan sebagainya. Dia menyebutkan, tahun ini pihaknya mengajukan sertifikat untuk 260 bidang tanah. “Kami memang berusaha mendapatkan jatah Prona sebanyak-banyaknya karena kesadaran masyarakat untuk mensertifikatkan tanah sangat rendah.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya