SOLOPOS.COM - Para petani makan nasi gudangan bersama dengan daun pisang sebagai piringnya saat panen perdana di jalan usaha tani persawahan Mbah Ageng Plumbungan, Karanhmalang, Sragen, Rabu (28/9/2022). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN—Puluhan petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Ngudi Luhur Kelurahan Plumbungan, Kecamatan Karangmalang, Sragen, menggelar panen perdana dengan mempertahankan tradisi leluhur berupa methil atau metik padi bareng di hamparan persawahan Mbah Ageng Plumbungan, Rabu (28/9/2022).

Kearifan lokal yang dipelihara para petani itu ternyata bisa mendatangkan keberkahan dalam aktivitas pertanian.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Para petani senang karena hasil panennya meningkat dan serangan hama bisa terkendali. Tradisi methil bareng itu baru dilakukan para petani di kali kedua ini dan setiap menjelang panen tiba,

Dalam tradisi syukuran itu dihadiri Camat Karangmalang Arista Taminawati dan Lurah Plumbungan Leila Yunia Kartikawati serta para penyuluh pertanian lapangan (PPL) di wilayah Kecamatan Karangmalang, Sragen.

Ekspedisi Mudik 2024

Salah seorang petani anggota Poktan Ngudi Luhur Plumbungan, Joko Siswoyo, 53, bersyukur dengan adanya syukuran bersama menjelang panen perdana petani menjadi kompak dan hasilnya meningkat signifikan.

Dia mengatakan di tempat lain ada serangan hama ternyata di Plumbungan bisa terkendali. Hasil panen per hektare itu, sebut dia, bisa mencapai 8,7 ton per hektare atau laku sampai Rp40 juta per hektare.

Ketua Poktan Ngudi Luhur Plumbungan, Sragen, Suharno, menambahkan luas lahan pertanian di Poktan Ngudi Luhur itu mencapai 32 hektare.

Dia menyampaikan hasil panen tahun ini meningkat 15% bila dibandingkan tahun lalu. Dia mengatakan harga jualnya juga naik dari Rp38 juta per hektare menjadi Rp40 juta per hektare.

“Biasanya hama-hama juga banyak, alhamdulillah di Plumbungan terkendali. Ini panen pertama yang dilakukan di wilayah Karangmalang. Kami menggunakan sistem tanam cepat dan serentak sehingga harga masih bisa tinggi dan hama bisa terkendali. Seperti serangan tikus di Plumbungan ini tinggal 3% saja,” jelasnya.

Dia menjelaskan tradisi methil padi ini merupakan tradisi leluhur yang sudah ditinggalkan petani.

Suharno menerangkan petani Plumbungan mulai menghidupkan kembali secara gotong-royong dan ternyata efeknya bagus untuk petani karena tradisi itu sebenarnya sebagai semacam rasa syukyur dan tolak balak.

Dia menerangkan tradisi itu dijalankan dengan iuran, ada yang iuran sayuran, nasinya, pisangnya, dan seterusnya. Bahkan untuk hiburan organ tunggal pun, kata dia, diundang petani untuk bersenang-senang saat panen raya tiba.

“Walaupun pupuk susah itu bukan menjadi kendala yang berarti bagi Poktan Ngudi Luhur karena kami menyiasati dengan tanam cepat dan serentak. Mulai 15 Oktober nanti, kami sudah merencanakan tanam setelah panen ini,” kata dia.

Camat Karangmalang, Sragen, Arista Taminawati, mendukung kegiatan para petani yang mempertahankan kearifan lokal. Dari testimoni para petani, kata dia, syukuran menjelang panen ini ternyat abisa menambah keberkahan dan pendapatan bagi petani.

“Rasa syukur dengan kegiatan panen perdana diteruskan. Kendati problem pertanian banyak, seperti pupuk, hama, hingga naiknya harga bahan bakar minyak (BBM), tetapi para petani di Poktan Ngudi Luhur tidak gentar dan tetap melaksanakan aktivitas seperti biasa,” jelas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya