SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Hari raya disertai libur panjang adalah kesempatan baik untuk pulang kampung. Setidaknya setahun sekali, orang-orang mudik, kembali ke kampung halaman. Tidak sedikit yang dibawanya sebagai hadiah atau oleh-oleh. Senang rasanya bisa memberi. Dan hadiah yang paling istimewa dari seorang pemudik adalah memberi dirinya sendiri.

Perjalanan mudik tidak selalu mudah. Banyak orang yang harus mengorbankan waktu, tenaga dan biaya lebih dari biasanya. Mereka yang naik angkutan umum tidak jarang mengalami kecopetan atau ditipu orang lain. Naik kendaraan sendiri menghadapi kemacetan. Risiko kecelakaan, apalagi bagi para pengendara motor, tidak bisa diabaikan. Namun bagaimana pun segala kesulitan tak ada artinya dibanding kebahagiaan pulang kampung.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Nyaman rasanya kembali ke rumah tempat kita dibesarkan. Rumah merupakan sebuah kebutuhan dasar bagi siapa saja. Rumah itu memberi perlindungan, tempat bernaung, yang membuat seseorang aman dan damai. Rumah berkonotasi kerukunan dan kekeluargaan. Anak dibesarkan dalam rumah yang menyenangkan, yang membuatnya betah karena kebutuhannya terpenuhi. Ia mendapatkan cinta di situ.

Bayangkan ketika seseorang kehilangan rumah. Musibah namanya, entah berupa bencana atau karena penggusuran. Bayangkan juga orang yang terpaksa meninggalkan rumah. Orang atau anak hilang mungkin diculik penjahat, mungkin juga kabur tak betah di rumah. Anak yang memberontak, tak tahu budi dan lupa pada asal usul dinamakan anak yang hilang. Beruntunglah anak yang hilang, yang dicari dan bisa pulang diterima kembali oleh orangtuanya (Sdmp.  IV)

Sayang sekarang ini tidak banyak orang yang meluangkan waktu bermain dengan anak-anaknya. Jika setiap orang dekat dengan anak-anaknya, sedikit dari mereka yang mencari hiburan di luar rumah, dan akan lebih sedikit ayah ibu menghadapi masalah penyimpangan perilaku anak-anaknya akibat pergaulan yang buruk.

Jika orang mengabaikan rumah dan sering berkeliaran di luar rumah tanpa tujuan yang baik pada waktu yang tidak pantas, dia memberi kesempatan pada munculnya berbagai masalah. Menurut Buddha, ada enam bahaya bagi orang-orang seperti itu. Ia tidak terjaga, tidak terlindung. Keluarga, anak, istrinya juga tidak terjaga. Hartanya tidak terjaga. Ia seringkali disangka melakukan perbuatan yang tidak baik. Ia juga menjadi sasaran segala macam gosip. Dan lainnya, mudah mengalami banyak kesulitan, yang seharusnya tak terjadi jika ia tetap tinggal di rumah ( D. III, 183).

Rumah tinggal mengikat seseorang pada kampung halamannya. Memiliki rumah sekaligus berarti  memiliki tanggung jawab terhadap lingkungannya. Tembok rumah bukan benteng yang memisahkan seseorang dari tetangganya. Setiap orang tak dapat mengunci diri menutup mata terhadap apa yang terjadi di kampungnya. “Orang yang memiliki kekayaan berlimpah, namun ia hanya menikmatinya sendiri, tidak berbagi dengan orang lain, inilah salah satu sebab dari kemerosotan. Orang yang menyombongkan keturunan, golongan dan kekayaannya, dengan memandang rendah orang lain juga menyebabkan kemerosotan.” (Sn. 102-104).

Bersentuhan dengan leluhur
Menurut Thich Nhat Hanh, seseorang pulang ke kampung halaman berarti kembali ke akar kehidupannya. Pulang ke rumah menemui orang tua. Kita merasa tidak pernah kehilangan orang tua dan orang tua tidak kehilangan diri kita. Kita punya rumah, mestinya sering pulang ke rumah. Orang bisa bepergian, sebentar atau lama hingga bertahun-tahun sekalipun, tetapi pada akhirnya akan pulang ke rumah. 
Pulang berarti bersentuhan dengan orang tua dan leluhur kita. Tradisi nyadran atau nyekar dan berdoa di makam mendekatkan seseorang dengan leluhur dan anggota keluarga yang telah meninggal. Entah itu dalam hubungan darah atau garis keturunan, ataupun  garis spiritual. Orang yang tidak berbakti, tidak menghormati leluhurnya, berarti tidak bisa menghargai dirinya sendiri.

Nyadran merupakan warisan budaya Hindu Buddha di Jawa. Ditinjau dari sudut etimologi, sadran atau sraddha berarti keyakinan atau iman. Ziarah kubur merupakan praktik simbolis mengenang dan menghormati leluhur. Bukan meminta-minta kepada leluhur, karena nasib seorang manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri. Bahkan sebagian leluhur memerlukan bantuan keturunannya, khususnya berupa doa dan pelimpahan jasa kebajikan. 

Iman dalam ajaran Buddha terkait erat dengan keyakinan terhadap hukum karma atau perbuatan dan akibat darinya. Praktik menghormati leluhur dihubungkan dengan kesadaran bahwa kehadiran kita harus ada asal-usulnya, dan sebuah kematian bukan akhir, melainkan berlanjut dengan kehidupan lain.

Orang yang sudah mati diyakini tetap dekat dengan yang hidup. Bahkan kita seharusnya bisa menyadari bahwa leluhur kita tidak pernah mati. Ada unsur leluhur yang tinggal di dalam diri kita. Kita hanya perlu menyadarinya saja. Leluhur kita hidup dalam diri kita dalam bentuk segala hal yang diwariskan kepada kita. Di antaranya, pengetahuan modern telah mengungkapkan tentang gen atau DNA kita yang diturunkan oleh leluhur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya