SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu

Syair lagu legendaris KLA Project itu mungkin bisa menggambarkan perasaan sebagian besar pemudik yang mulai tiba di kampung halamannya. Mudik Lebaran sepertinya tetap menjadi impian yang harus diwujudkan dengan cara apapun.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Tumiyah, 35, warga Dusun Tolo, Botadayaan, Rongkop, salah satunya. Meski wajahnya terlihat lelah namun senyum lega terlihat saat dia turun dari sebuah bus di terminal Wonosari. Salah satu saudaranya yang menjemput langsung dia peluk. Tampak sekali ada kerinduan yang tak terucap.

Wanita yang bekerja di Depok, Jawa Barat, di sebuah perusahaan penjual rumah petak itu mengaku bahagia bisa berkumpul dengan sanak saudara mereka di Gunungkidul. “Sudah menjadi kewajiban setiap kali lebaran harus pulang ke sini. Biar bisa ketemu sama saudara semua,” ungkapnya dengan derai tawa.

Wanita beranak dua itu mengatakan untuk sampai ke kampung halamannya ia mengeluarkan uang hingga Rp740.000 sebagai biaya untuk membeli dua tiket pulang bersama suami tercintanya. “Satu tiketnya seharga Rp370.000, ini karena bersama suami. Saya total mengeluarkan Rp740.000. Tapi untuk biaya pulang ke Jakarta saya belum tahu, “ ujarnya.

Tumiyah bercerita tidak tahu kenapa harus mudik. Ada suatu kekuatan yang sepertinya mendorong hal itu harus dilakukan. Di perantauan dia kerap merasa asing sehingga ketika kembali ke tempat asal seperti merasa tenteram.

“Rasanya tenteram kalau kembali ke desa. Lelah kerja di perantauan seperti bisa hilang kalau kembali ke rumah,” tambahnya, Sabtu (27/8).

Suka cita sebagai pemudik juga dirasakan  oleh Wasiman, 40. Pria yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik sol sepatu di Kedaung, Jakarta Barat itu mengungkapkan pentingnya momen lebaran untuk bisa berkumpul dengan keluarganya tidak sedikit.

“Mumpung orang tua masih hidup setiap tahun  pas lebaran saya selalu manfaatkan untuk pulang ke kampung halaman,” terang pria asal asal Dusun Wangen Kidul, Wangen, Semanu tersebut.

Pria yang pulang ke kampung bersama istri dan satu anaknya itu  harus membawa bekal uang hingga Rp4 juta. Uang itu didapatkan dari hasil THR serta menyisihkan uang gajinya.“Untuk berbagi dengan orangtua dan ponakan-ponakan meski tak seberapa,” tuturnya senang.

Kerinduan milik semua orang. Tak pandang suku. Semua ingin mudik saat Lebaran.  Ari Kurniawan, 19, mahasiswa yang kuliah di Jogja pun memilih pulang di kampung halaman Kalianda Lampung Sumatra.

Sejak kuliah di Jogja setahun lalu, mahasiswa semester 3 perguruan tinggi swasta di Jogja ini belum pulang. Ingin bertemu keluarga dan kerabat salah satu alasan kuat untuk mudik. Meski harus merogoh uang saku Rp330.000 untuk membeli tiket bus eksekutif.

Harga ini naik 15 persen dari hari biasa yang hanya Rp260.000 untuk tujuan yang sama. Uang ratusan ribu tidak seberapa dibandingkan rindu kampung halaman dan kedua orang tuanya. “Sejak kuliah di Jogja belum pulang kampung. Sudah tak tahan ingin Lebaran di rumah lagi” katanya saat menunggu bus AKAP di terminal Jombor, Sabtu (28/8).

Ia sengaja mepet jelang lebaran karena libur kuliah cukup lama yakni dua minggu. Kuliah efektif akan dimulai lagi 12 September 2011 Daripada beralama-lama di Jogja Ari memilih pulang kampung sekaligus reuni bersama teman SMA. “Kalau lebaran di sini tidak punya teman, teman saya semua mudik ke daerahnya masing-masing,” ujar laki-laki berambut gondrong ini.

Fahrudin, 27, warga Ngaglik Sleman yang baru datang dari Jakarta juga menuturkan, sebenarnya mudik adalah pekerjaan berat. Orang harus mengeluarkan banyak biaya, belum lagi harus berebut tiket dan risiko kecelakaan. Tetapi, ketika sudah berurusan dengan hati, semua susah untuk dihalangi. “Saya sempat kesulitan cari tiket. Tetapi dengan berbagai perjuangan akhirnya dapat. Lega sekali bisa sampai rumah,” tuturnya.

Ujang Syaifullah, 37, warga Cimahi Selatan, Jawa Barat, juga harus berjuang keras untuk bisa berlebaran bersama dengan istrinya di  Ngadirojo, Wonogiri, Jateng. Ayah dua anak itu rela menempuh perjalanan panjang dengan sepeda motor.

“Saya berangkat dari Cimahi tadi pagi sekitar pukul 02.00 WIB,” kata mengawali pembicaraan saat ditemui Harian Jogja di depan Terminal Giwangan, Jogja, (27/8). Di tengah motor bebeknya, sebuah ransel hitam penuh bekal diikat menggunakan tali plastik.

Demi mudik juga, karyawan di salah satu perusahaan swasta di Bandung itu harus membatalkan puasanya. Segelas es dawet seharga Rp2.000cukup menuntaskan dahaganya setelah sempat dipusingkan dengan ruwetnya jalan di Jogja.

“Istri dan dua anak saya sudah berangkat sejak Jumat (26/8) petang. Mereka naik bus saja biar nyaman,” ujar pria berjenggot itu sembari menyeka keringat di dahinya. Demi kenyamanan anak istrinya, Ujang rela merogoh kocek Rp330.000untuk dua tiket bus patas ekonomi jurusan Bandung-Wonogiri.

“Harga tiket bus naik 100 persen. Jika hari biasa Rp80.000. Lebaran kali ini jadi Rp165.000. Belum lagi harus belanja oleh-oleh untuk sanak famili di kampung,” keluh Ujang. Selain menghemat biaya, pilihan Ujang mudik dengan sepeda motor karena dirinya bisa berkeliling kampung selama libur Lebaran. “Bensin paling cuma habis Rp60.000 sekali perjalanan,” terangnya.

Menurut Ujang, mudik adalah satu-satunya momen bagi dia dan istrinya menghabiskan waktu bersama keluarga di kampung halaman. Sebab, jika tidak bertepatan dengan Lebaran, dirinya tidak bakal bisa berkumpul dalam suasana bahagia selama berhari-hari.

“Otomatis semuanya mudik karena libur panjang. Di hari biasa, paling cuma bisa cuti dua hari. Kalau mau pulang kampung, cuma habis di perjalanan saja,” ungkapnya. Jika tahun lalu Ujang hanya sekitar tiga hari bertandang di rumah mertua, maka Lebaran kali ini dia memutuskan untuk singgah lebih lama.

Sosiolog Islam Prof Zainuddin Maliki menilai tradisi tidak mungkin dilarang atau dihapuskan. Hal ini karena terkait eratnya ikatan orang dengan daerah asalnya. Bahkan dengan risiko tinggi sekalipun. Mudik itu menggambarkan kuatnya ikatan kekeluargaan dan kedaerahan umat Islam di Indonesia, karena itu tidak mungkin dilarang.

“Itu keniscayaan. Mereka memanfaatkan momentum Lebaran untuk bertemu dan berkumpul keluarga dalam setahun sekali, meski mereka tidak sadar bila memanfaatkan momentum itu dengan mengabaikan segala risiko di jalanan,” ucap Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu seperti dikutip Antara beberapa waktu lalu.



Sayangnya, setiap tahun mudik selalu memunculkan masalah transportasi. Kemacetan dan risiko kecelakaan tinggi.  “Kalau Vietnam bisa mengatasi dengan `monorel` dan `subway`, kenapa kita tidak bisa. Saya yakin keseriusan dalam memperbaiki moda transportasi akan mengatasi ledakan pemudik melakukan cara-cara yang berisiko,” ujarnya.(Wartawan Harian Jogja/Dina Leo Listy, Kurniyanto & Akhirul Anwar)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya