SOLOPOS.COM - Prof Dr HS Brodjosudjono SH MS (JIBI/SOLOPOS/Eni Widiastuti)

Prof Dr HS Brodjosudjono SH MS (JIBI/SOLOPOS/Eni Widiastuti)

SOLO – Kalangan perguruan tinggi swasta (PTS) mengancam akan melakukan aksi mogok masal jika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), tetap memberlakukan kebijakan publikasi karya ilmiah di jurnal terakreditasi sebagai syarat kelulusan mahasiswa S1 mulai Agustus tahun ini.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Jawa Tengah, Prof Dr HS Brodjosudjono SH MS, mengungkapkan kebijakan publikasi karya ilmiah secara substansial, sangat ideal. Hal ini karena sudah selayaknya orang pintar juga harus pintar menulis. Namun pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan karena infrastruktur harus disiapkan terlebih dahulu. Padahal kemampuan setiap perguruan tinggi tidak sama.

“Kalau kebijakan itu mau diterapkan di perguruan tinggi negeri yang anggarannya banyak dari pemerintah, mangga saja. Tapi kalau PTS juga harus menerapkan semua, tentu tidak semudah itu,” katanya. Beberapa PTS yang sudah mapan, katanya, memang ada yang sudah mampu menerapkan kebijakan tersebut. Namun menurutnya banyak PTS yang infrastrukturnya belum memadai. Ia menyebutkan dari sekian banyak PTS di Indonesia, 80% termasuk PTS kecil yang infrastrukturnya belum memadai jika kebijakan baru tersebut diberlakukan.

Oleh karena itu, lanjutnya, Aptisi mengusulkan agar kebijakan tersebut dilakukan secara berjenjang mulai dari perguruan tinggi yang terakreditasi A. Jika ternyata perguruan tinggi terakreditasi A tidak mampu menerapkan kebijakan tersebut, berarti Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) yang salah.

“Ketika Aptisi mengungkapkan hal itu kepada Dirjen Dikti beberapa waktu lalu, kemudian ada informasi dari media bahwa kebijakan pembuatan karya ilmiah yang dimuat di jurnal ilmiah, bukan sebagai syarat kelulusan, tapi hanya sebagai dorongan agar mahasiswa mau menulis,” jelasnya.

Namun jika informasi terakhir Kemendikbud tetap akan menetapkan kebijakan itu sebagai syarat kelulusan mulai Agustus tahun ini, Brodjo mengatakan ibarat para buruh, PTS akan mengadakan aksi mogok. “Jika Agustus tahun ini tetap diberlakukan untuk semua perguruan tinggi, ibarat buruh PTS akan melakukan aksi mogok. Ini kebijakan yang terlalu dipaksakan. Kita bukan tidak mau maju, tapi semua butuh persiapan,” ujarnya.

Ia menguraikan dalam setiap penerbitan satu jurnal ilmiah, paling banyak hanya memuat 10 tulisan. Artinya kalau sebuah PTS kecil yang mau mewisuda 300 orang saja, dibutuhkan waktu 30 bulan untuk meluluskan semua, jika jurnal ilmiah itu hanya terbit sebulan sekali. Hal ini berarti, seorang mahasiswa harus menunggu waktu 2,5 tahun untuk bisa lulus. “Ini sama saja mematikan kesempatan anak bangsa yang sudah bersusah payah belajar, untuk segera lulus. Ini tidak rasional,” katanya. Kalaupun jurnal ilmiah tersebut secara online, terangnya, akan melahirkan masalah baru. Yaitu banyaknya plagiator karya ilmiah. Bahkan berdampak pada munculnya profesi baru, joki-joki tulisan ilmiah.

Senada, Rektor Universitas Surakarta (Unsa), Dr Drs Margono SE MM, mengatakan sebenarnya kebijakan pembuatan karya ilmiah yang dimuat di jurnal terakreditasi patut diapresiasi. Hal ini karena mahasiswa punya wadah menuangkan kreativitas, ide dan gagasanya dan bisa diketahui masyarakat. Tapi jika hal itu diwajibkan, perlu kearifan dari Kemendikbud.

“Kondisi perguruan tinggi secara nasional berbeda, akreditasinya juga berbeda. Kalau kebijakan ini dipaksanakan, akhir 2012 akan terjadi penurunan jumlah lulusan yang sangat tajam,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya