SOLOPOS.COM - Slamet Sutrisno (JIBI/SOLOPOS/dok)

Rasullulah SAW selalu mengingatkan umatnya bahwa banyak di antara mereka yang tekun menjalankan ibadah puasa namun hanya memperoleh lapar dan dahaga. Dengan diksi yang berbeda namun sama maknanya, (alm) KH Azhar Basjir MA (2001;54) menyatakan jika orang menjalankan salat namun masih melakukan berbagai tindakan maksiat, lebih baik dia tidak salat karena terbukti salatnya tidak berfungsi apa-apa dalam peri kehidupannya.

Slamet Sutrisno (JIBI/SOLOPOS/dok)

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Puasa dan salat merupakan sepasang keindahan ibadah islami, sekiranya pelakunya bersedia menusukkan lebih dalam ujung ibadahnya lebih dari sekadar fenomena lahiriah. Sering ditegaskan oleh pengkhotbah arti pentingnya salat, bila baik salatnya maka akan baik amal-amal lainnya. Sayangnya penegasan ini dapat dipahami secara salah-kaprah, waton (asalkan) orang menjalankan salat dengan sendirinya amal-amal lainnya akan dianggap baik.

Pemahaman seperti itu tentu riskan karena yang dimaksud adalah, dengan kesadaran menjalankan salat, salatnya mesti berfungsi sebagai waton (prinsip) agar tindakan sehari-hari senantiasa merujuk kepadanya. Misalnya, rujukan Surat Al Fatihah: 5 dan 7 yang mengikrarkan,”Hanya Engkau (Allah) yang kami sembah,” dan ”Tunjukkan kami jalan yang lurus.”

Di tengah ribuan kali ayat-ayat Al Fatihah yang dibaca umat senegeri sedemikian rupa, tetap saja pencurian kekayaan negara berlangsung mantap, rekayasa pungutan wali murid pada tahun ajaran baru terus membola salju dan sikap riya pun memancar. Sebaliknya, kepelitan bersedekah menghiasi kalbu. Membeli irus (alat pengaduk sayur) seharga Rp 3.000 pun ditawar-tawar, sementara setiap berbuka puasa aneka makanan berlimpah.

Ego pribadi memberhalakan realitas bendawi–kekayaan finansial, kemewahan rumah dan kendaraan, jabatan dan gelar-gelar–(melanggar QS Al Fatihah: 5) yang tak jarang diperoleh secara serampangan tanpa keawasan halal-haramnya (melanggar QS Al Fatihah: 7). Malahan acap kali ditempuh rasionalisasi melalui nalar yang bisa dipelintir bahwa salat akan menghapuskan dosa-dosa.

Deskripsi yang sama terjadi terhadap ibadah puasa Ramadan di mana praktik peribadatannya tidak terkecualikan dari kepicikan praksisnya. Kaum muslim menjalankan ibadah puasa dengan penuh harap bakal diampuni dosa-dosa mereka setahun berjalan, kelak pada Idul Fitri lahir sebagai manusia baru bagaikan seorang bayi yang lahir putih bersih tanpa setitik dosa pun melekatinya.

Kehidupan berlanjut, kelak berpuasa lagi untuk menghapus dosa- dosa setahun. Tahun demi tahun dilalui, puasa demi puasa dijalani, dari semenjak usia bujangan sampai bercucu; namun sekiranya kita bertanya penuh kesungguhan: Sebagus apakah kesalehan diriku sebenarnya? Jika kejujuran adalah kriterianya, agaknya banyak di antara kita terpaksa tersipu–sipu, memalingkan muka dari lontaran pertanyaan yang begitu menggoda.

Apalagi mereka kaum elite yang gemar menopengi wajah, bermain ”aji mumpung” mempecundangi sekian kaidah hukum dan bahkan moralitas manusiawi. Dari telaga kepecundangan itulah mengalir berbagai tindak pengkhianatan nilai-nilai keagamaan, mulai dari korupsi yang makin menggunung, pembohongan kepemerintahan, pembiaran derita korban lumpur Lapindo dan pembunuhan warga negara secara semena-mena.

Selain kekerasan langsung di jalanan entah kecelakaan lalu lintas maupun tawuran, laten juga penindasan kaum duafa dengan sejumlah kekerasan struktural semisal terlunta-luntanya pasien miskin dan murid cerdas yang gagal kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN). Demikian pula–di negeri yang jemaah keagamaannya kian membuncah–terus memproduksi sekian kekerasan kultural atas nama pembelaan agama dan kekerasan lingkungan yang membuat perikehidupan ekstra-polutif.

Kuil-kuil
Aktivisme keagamaan yang makin mengisi realitas sosiologis pasti bukanlah keburukan, namun sanggup bertahankah fakta sosiologis itu dari telisikan fenomenologi? Benarkah tercapai kesalehan pribadi dengan kedisiplinan ibadah tersebut? Ya, memang benar, akan tetapi baru sebagian awal, belum ke bagian tengah apalagi ke sisi akhir, berhubung ibadah keagamaan mana pun bisa dikerangkai oleh frasa indah kejawaan purwa-madya-wasana. Aktivitas berpuasa dan salat tarawih di malam hari pada dasarnya baru menapaki sisi purwa, yakni perilaku lahir.

Ibadah awal ini akan memasuki sisi madya yang demi kesuksesannya mesti mampu memecahkan kerasnya realitas sekeras batok kelapa, guna meluncur ke dalam sisi wasana yang memungkinkan pelakunya meraih daging kelapa itu sendiri. Lapar dan dahaga semata pada hal sudah menjalankan puasa seharian selama sebulan, disebabkan oleh kemalasan memecahkan batok kelapa yang kekeliruan caranya sering melukai diri kita dari pecahannya yang meruncing.

Luka-luka dari pecahan batok inilah simbol dari kekeliruan laku keberagamaan yang sering menunjukkan ketakaburan dan ”sok jago” padahal agama-agama menjanjikan kerendahan hati, kelembutan, simpati dan keluhuran. Batok kelapa adalah simbol keangkaramurkaan, hawa nafsu yang sangat berat membebani diri sedemikian sehingga Rasululah SAW bersabda bahwa perang melawannya adalah sungguh perang lebih besar dari Perang Badar.

Praktik peribadatan keagamaan–agama apa pun—memang teriskir sekadar menapaki halusnya kulit kelapa yang kelezatan rasanya bukan terletak di situ, melainkan dalam daging yang guna mencapainya membutuhkan kedalaman rasa di satu sisi dan di sisi berikutnya konsistensi serta konsekuensi perjuangan (mujahadat). Sedemikian rupa, sehingga laku ibadah memang sungguh mewujudkan ”ibadah” yang semantiknya bermakna tindakan kebajikan (Yunasril Ali, 2007;162). Maka itu, dalam bulan Ramadan yang dielu-elukan, relevan buat mencamkan ajaran Budha bahwa tujuan semua tradisi keagamaan bukanlah untuk membangun kuil-kuil megah di luar, tetapi untuk menciptakan kuil-kuil kebaikan dan welas asih di dalam; dalam hati kita.

Roger Walsh dalam Essential Spirituality (1999; 50) menyebut sebagai beribadah dari dalam, dengan membangkitkan ”diri sejati” kita yang tak mempunyai kekurangan. Tetapi mengapa banyak di antara kita setelah bertahun-tahun beribadah entah berpuasa, salat bahkan berhaji masih bertendensi mau diseret oleh si pengganggu kebahagiaan, yakni sang keinginan yang hanya membuat kita selalu merasa kurang?

Medan peribadatan kini ditengarai makin gersang dari rindangnya semak rasa hidup, yang terjulur adalah dedahanan subur bersama kebisingan loudspeaker yang mengandaikan panggilan keilahian; tanpa kesadaran bahwa dedahanan itu sesungguhnya bernilai benalu seperti halnya liarnya keinginan.

Jelaslah bahwa proses peribadatan yang selama ini jauh dari knowledge-based worship, berhubung tingginya adat kesalahkaprahan dan mental kepengikutan, akhirnya hanya berhasil membangun sekian ”penanda” keberagamaan yang miskin ”petanda” religius. Indikatornya adalah kehancuran kesadaran etis di ranah masyaraat dan bahkan negara, pada hal sadar religius hanya bisa dimasuki melalui jembatan sadar etis itu.

Ibadah tahapan purwa adalah penampakan lahiriah dibimbing oleh syariat, tahapan madya mampu mewujudkan sadar etis melalui laku tarikat dan akhirnya menapaki tahapan wasana sampai ke perumahan hakikat, yakni sadar religius. Almarhum Romo YB Mangunwijaya dahulu sering menjelaskan ”beragama” belum dengan sendirinya religius.

Slamet Sutrisno, Pengajar Filsafat Kebudayaan Universitas Gadjah Mada

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya