SOLOPOS.COM - Aloys Budi Purnomo (Solopos/Istimewa)

Perayaan Paskah, bagi umat kristiani pada 2024, yakni perayaan syukur atas kebangkitan Yesus Kristus, dilaksanakan di tengah suasana suci Ramadan, saat umat Islam menjalankan ibadah puasa. Perayaan Paskah dalam tradisi kristiani merupakan puncak dari rangkaian puasa dan pantang yang dijalankan selama masa Prapaskah yang pada 2024 dilaksanakan sejak 14 Februari hingga 29 Maret 2024. Sejak 14 Februari lalu, khususnya umat Katolik, mengawali Masa Prapaskah, yakni masa puasa dan pantang dengan ritual Rabu Abu, yakni penyematan abu di dahi, sebagai lambang pertobatan.

Di awal Masa Prapaskah yang lalu, sebagaimana direfleksikan Christopher Wells (2024), Paus Fransiskus memberikan pesan kepada umat Katolik dan siapa saja yang berpuasa dan berpantang. Paus asal Argentina itu mengajak umat beriman untuk “berhenti sejenak” berdoa dan membantu saudara-saudari yang membutuhkan, guna mengubah hidup sendiri dan kehidupan komunitas umat dan masyarakat. Kiranya, pesan tersebut relevan dan signifikan buat siapa saja dan di mana saja, bahkan apa pun agama dan kepercayaannya.

Promosi Riwayat Banjir di Semarang Sejak Zaman Belanda

Dalam tradisi Katolik, Paskah diawali dengan masa Puasa yang berlangsung sejak Rabu Abu (14/2/2024) hingga Jumat Agung (29/3/2024). Puasanya diperhitungkan untuk Rabu Abu dan Jumat Agung dan setiap Jumat selama masa tersebut. Puasa dan pantang berarti makan hanya sekali sehari dan mengurangi hal-hal yang disenangi. Lebih utama adalah sikap ugahari dan matiraga.

 

Melawan Globalisasi Ketidakpedulian

Dalam pesannya, Paus Fransiskus menegaskan perlunya melawan “globalisasi ketidakpedulian”. Perjalanan masa Prapaskah akan menjadi nyata jika kita menyadari bahwa bahkan hingga saat ini kita masih berada di bawah kekuasaan “Firaun”. Kekuasaan itu ditandai aturan yang membuat manusia letih dan cuek. Sebuah model pertumbuhan yang memecah belah umat manusia dan merampas masa depan kehidupan yang harmonis, rukun, adil, dan damai.

Untuk itu, perlulah kesadaran kepada penyelenggaraan Tuhan Yang Maha Esa, yang selalu mengambil inisiatif untuk merangkul, mempersatukan, dan menyelamatkan semua orang tanpa diskriminasi. Dalam diri manusia, masih ada kerinduan yang tidak dapat dijelaskan akan perbudakan, keinginan untuk berpegang teguh pada berhala yang melumpuhkan, dengan kehidupan padang gurun yang kering. Dalam konteks itulah, masa Prapaskah yang ditandai puasa dan pantang dapat menjadi masa rahmat dan masa pertobatan, yang mengubah padang gurun yang kerontang menjadi tempat bertumbuh dan berkembangnya kebebasan manusia yang mendorong secara matang dalam keputusan pribadi untuk tidak kembali ke perbudakan. Dari situlah, manusia dapat menemukan kriteria keadilan yang baru dan membangun komunitas masyarakat yang dengannya dapat terus maju melalui jalan yang belum ditempuh.

Perjalanan masa Prapaskah melalui puasa dan pantang melibatkan sebuah perjuangan. Masa tersebut merupakan waktu untuk bertindak, tetapi juga waktu untuk berhenti sejenak, yakni untuk berhenti sejenak dalam doa dan untuk berhenti sejenak di hadapan saudara atau saudari yang terluka akibat berbagai kesulitan, tantangan, karena ancaman karena perbudakan berbagai kepentingan yang egois. Perjalanan tersebut menjadi perjalanan cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa dan cinta terhadap sesama yang adalah satu cinta.

Melawan globalisasi ketidakpedulian membutuhkan dimensi kontemplatif masa Prapaskah yang dapat membantu siapa saja melepaskan energi baru untuk menjadi lebih peka satu sama lain: dalam menghadapi tantangan, kesulitan, dan ancaman yang menjadi musuh bersama peziarahan hidup di dunia ini. Menurut Paus Fransiskus sejauh masa Prapaskah ini menjadi masa pertobatan, umat manusia yang cemas akan melihat ledakan kreativitas, secercah harapan baru. Semua orang wajib siap mengambil risiko demi menemukan keberanian untuk melihat dunia kita, bukan dalam keadaan sekarat, tetapi dalam proses melahirkan; bukan di akhir, tapi di awal babak baru yang besar dalam sejarah kemanusiaan dalam peradaban kasih ekologis. Iman dan amal kasih selalu saling berhubungan laksana anak yang memegang harapan bersama orangtuanya yang mengajarinya berjalan, dan pada saat yang sama, menuntun melangkah maju.

 

Harmoni Ekologis

Bagi warga bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, melawan globalisasi ketidakpedulian merupakan bagian dari DNA warga bangsa yang selalu menunjung tinggi harmoni ekologis dalam keberagaman. Di sinilah, masa yang sama dan serupa untuk puasa dan pantang di masa Prapaskah bagi umat kristiani dan kemudian seiring dengan itu umat Islam memasuki dan menghayati bulan Ramadan menjadi sangat indah untuk direnungkan.

Akhir masa Prapaskah yakni Paskah, yang masih berada dalam suasana bulan suci Ramadan memberikan secercah pengharapan harmoni yang indah. Harmoni Paskah Ramadan terjalin dan dapat dirasakan relevansi dan signifikansinya hanya di negeri ini. Hidup yang rukun dan damai yang menjadi DNA warga bangsa Indonesia telah teruji dalam sejarah dan tidak pernah lumpuh terjebak dalam perbudakan dalam bentuk apa pun.

Harmoni ekologis Paskah dan Ramadan menjadi sangat jelas ketika puasa dan pantang menjadi bentuk penghayatan hidup beriman, bahkan mencakup semua orang apa pun agama dan kepercayaannya. Di saat semua orang, apa pun agama dan kepercayaannya menghayati puasa dan pantang, pada saat itulah sikap ugahari, belas kasih, dan solidaritas dikembangkan. Sikap ugahari, belas kasih, dan solidaritas itu mencakup pula sikap ramah dan peduli pada lingkungan. Tujuannya adalah keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan yang menjadi ruang lingkup kehidupan bersama semua orang.

Secara khusus, Paskah dan Ramadan memuat spiritualitas hidup yang indah dalam perspektif harmoni ekologis. Meminjam ungkapan Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’ (2015), spiritualitas itu menawarkan suatu cara lain untuk memahami kualitas hidup, dan mendorong suatu gaya hidup kenabian dan kontemplatif, yang mampu menikmati sukacita secara mendalam tanpa terobsesi dengan konsumsi. Kita harus mengangkat kembali suatu pelajaran kuno, yang ditemukan dalam berbagai tradisi agama-agama yang mengajarkan harmoni ekologis dalam keyakinan bahwa “kurang adalah lebih.” Terus bertambahnya kemungkinan-kemungkinan untuk mengonsumsi membuyarkan hati dan menghalangi kita untuk menghargai setiap hal dan setiap saat. Namun, bila kita dengan tenang hadir pada setiap kenyataan, betapa pun kecilnya, terbukalah jauh lebih banyak kesempatan untuk pemahaman dan pemenuhan pribadi yang saling menghargai satu terhadap yang lain.

Paskah adalah puncak Prapaskah yang memberikan kebebasan dan kemerdekaan batin, yang dalam tradisi kristiani, bersumber dari kebangkitan Yesus Kristus dari alam maut dan mengalahkan segala bentuk kejahatan, kedosaan, dan kematian. Penebusan tersebut berlaku untuk semua orang yang saling berdamai satu terhadap yang lain. Demikian pula, nantinya, Idulfitri yang menjadi puncak Ramadan Suci akan melahirkan kemanusiaan baru yang bersih dan ditebus oleh kerahiman Allah. Maka, semua diharapkan saling memaafkan tak ada lagi dendam yang merusak harmoni kehidupan bersama.

Selamat melanjutkan Ibadah Puasa di bulan Ramadan bagi saudari-saudaraku umat Islam. Selamat merayakan Paskah bagi umat kristiani di mana pun berada. Semoga harmoni ekologis Paskah di Ramadan Suci kali ini, sungguh menjadi berkah bagi bangsa kita menuju masa depan yang lebih damai, adil, dan sejahtera!

(Artikel ini telah dimuat di Koran Solopos, 23 Maret 2024. Penulis adalah Doktor Ilmu Lingkungan Soegijapranata Catholic University)

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya