SOLOPOS.COM - Ilustrasi putusan pengadilan (JIBI/Solopos/Dok.)

Memutuskan permohonan para pemohon tidak dapat diterima dan diwajibkan membayar biaya perkara Rp386.000

Harianjogja.com, JAKARTA—Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara tidak mengabulkan permohonan sebagian anggota Dewan Perwakilan Daerah terkait dengan pengambilan sumpah Oesman Sapta Odang.

Promosi BRI Kantor Cabang Sukoharjo Salurkan CSR Senilai Lebih dari Rp1 Miliar

Baca juga : Putri HB X Hadiri Sidang Putusan Gugatan GKR Hemas di PTUN

Dalam sidang yang digelar Kamis (8/6/2017), majelis yang terdiri dari Ujang Abdullah, Tri Cahya Permana Dan Nelvy Chrstin menyatakan pemanduan sumpah yang dilakukan oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung kepada Oesman Sapta Odang tidak termasuk aktivitas badan administrasi pemerintah sebagaimana diatut dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-undang (UU) Administrasi Pemerintah.

Ekspedisi Mudik 2024

Dengan demikian, tindakan itu tidak dapat dijadikan objek sengketa karena hanya merupakan seremonial ketatanegaraan karena aktivitas di MA adalah terkait pengangkatan kepegawaian dan pemberhentian pegawai dan hakim, termasuk aktivitas organisasi.

Sesuai pasal 54 UU Administrasi Negara, meski pengambilan sumpah berimplikasi hukum tetapi yang dapat diambil pertanggungjawaban hukumnya adalah keputusan yang bersifat konstitutif dalam penetapan terpilihnya DPD. Dari rangkaian itu, majelis hakim berkesimpulan bahwa formalitas hukum yang diajukan oleh pemohon sebagai permohonan fiktif positif sebagai yang dipersyaratkan Pasal 53 UU Administrasi Negara tidak terpenuhi.

Dengan demikian majelis hakim tidak akan mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan dan menimbang oleh karena formalitas permohonan pemohonan fiktif positif tidak terpenuhi maka menurut Pasal 15 huruf a Peraturan Mahkamah Agung yang menyebutkan bahwa amar putusan atas penerimaan permohonan untuk mendapat keputusan maka majelis menyatakan permohonan pemohon tak dapat diterima karena tak memenuhi syarat formal.

“Maka majelis hakim haruslah berpendapat permohonan pemohon tak dapat diterima. Maka berdasarkan Pasal 110 dan Pasal 112 UU No. 5/1986 tentang PTUN, kepada para pemohon dihukum untuk membayar perkara. Hal ini sejalan dengan pandangannya saksi ahli termohon [Mahkamah Agung] yakni Yusril Ihza Mahendra dan Margarito Kamis,” papar majelis hakim dalam putusannya, Kamis.

Atas dasar itulah majelis memutuskan permohonan para pemohon, yakni Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas dan kawan-kawan tidak dapat diterima dan mereka diwajibkan membayar biaya perkara Rp386.000.

Kuasa hukum pemohon, Irmanputra Sidin, mengatakan sebenarnya dalam keterangan Yusril Ihza Mahendra yang dijadikan patokan majelis hakim, terdapat keterangan bahwa pemanduan sumpah yang dilakukan oleh Wakil Ketua MA memiliki akibat hukum. Akan tetapi hal itu menurutnya tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim.

“Majelis ingin bebaskan MA dari tanggung jawab pemanduan sumpah dengan mengatakan in bukan objek padahal semua fakta persidangan menyatakan pemanduan itu yang menentukan sah tidaknya,” paparnya.

Seperti diketahui bersama, kekisruhan mengenai jabatan pimpinan DPD bermula ketika munculnya Peraturan DPD No.1/2016 dan No.1 2017 yang juga mengatur perihal masa jabatan pimpinan lembaga tersebut dari lima tahun menjadi 2,5 tahun yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).

Meski demikian, sebagian anggota DPD bersikeras tetap melakukan pemilihan pimpinan baru sehingga menetapkan Oesman Sapta sebagai Ketua DPD. Sikap inilah yang dinilai oleh sebagian anggota DPD lainnya sebagai pemilihan yang tidak sah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya