SOLOPOS.COM - Psikolog Anna Fatma (Istimewa)

Solopos.com, SRAGEN – Banyaknya kasus bunuh diri di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah diduga disebabkan faktor depresi berat yang dialami korban sehingga tidak sanggup melanjutkan hidup.

Korban juga tidak mampu melakukan coping stress, yakni cara mengatasi kondisi stres dan tekanan akibat suatu permasalahan tertentu yang dihadapinya.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Keluarga dan lingkungan menjadi faktor penting untuk mencegah seseorang bertindak bunuh diri.

Penjelasan itu diungkapkan psikolog di Dinas Sosial (Dinsos) Sragen, Anne Fatma, saat dihubungi Solopos.com, Sabtu (7/5/2022).

Anne menerangkan depresi berat itu membuat korban tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Dia mengatakan beban hidup yang berat tidak sesuai dengan kemampuan untuk mengatasi stres.

Pada akhirnya, kata dia, korban memilih mengatasi masalah dengan bunuh diri.

Baca Juga: Gondang Sragen Geger! Bapak dan Anak Bunuh Diri Bareng

“Beban hidup ini maksudnya subjektif karena apa yang dirasakan berat oleh korban belum tentu dirasa berat oleh orang lain. Gejala depresi ini bisa diketahui dengan melihat kondisi seseorang yang kehilangan minat untuk hal-hal yang biasanya disukainya seperti kehilangan harapan, perasaan lelah secara psikis, sulit konsentrasi, berkurangnya aktivitas sehari-hari, sering melamun, dan seterusnya,” ujar Anne.

Dia menerangkan depresi yang dialami orang itu biasanya tidak langsung berat tetapi berawal dari depresi ringan dulu.

Dia melanjutkan jika orang tersebut sudah berpikir untuk mengatasi masalah dengan bunuh diri maka kondisi itu menunjukkan depresinya sudah berat.

Baca Juga: Bunuh Diri Lagi di Sragen, Kini Penjual Bakso Bakar Gantung Diri

Dia mengatakan untuk mencegah depresi berat itu perlu adanya support system dari keluarga dan lingkungan terdekat.

Dukungan keluarga dan lingkungan dalam bentuk kepedulian itu, ujar dia, sangat membentu pemulihan depresi.

“Jika sudah ada tanda-tanda, misalnya sudah pernah terlontar keinginan untuk mengakhiri hidup meskipun sepertinya tidak serius itu sudah harus diwaspadai. Selain support system, pencegahan yang dilakukan berupa ketahanan terhadap stres, kepribadian, dan stressor. Solusi yang bisa ditawarkan kalau dari dalam diri yang bersangkutan diarahkan untuk tidak putus asa dengan cara banyak mendekat kepada Tuhan,” ujarnya.

Baca Juga: Bunuh Diri Lagi di Sragen, Kini Penjual Bakso Bakar Gantung Diri

Dia mengarahkan keluarga bisa mengarahkan kepada orang itu untuk memperbanyak beribadah dan berharap solusi atas permasalahannya kepada Tuhan.

Dia menerangkan orang yang bunuh diri itu bisa saja merasa kecewa karena lingkungan tidak mendukungnya atau justru tidak ingin menjadi beban atau merepotkan keluarga dan lingkungannya.

Anne menerangkan kondisi itu dilakukan bisa belum masuk fase psikosis. Kalau sudah masuk fase psikosis, jelas dia, biasanya lebih sulit diatasi karena yang bersangkutan merasa ada bisikan gaib, halusinasi atau delusi, dan seterusnya.

Baca Juga: Deddy Corbuzier Komentari Kasus Bunuh Diri Mantan Pacar Awkarin

Dia menjelaskan psikosis itu merupakan gangguan kejiwaan berupa keterpisahan diri dengan kenyataan, muncul pemikiran tidak wajar (delusi).

Dia mencontohkan seseorang harus membunuh anaknya karena anaknya itu pembawa sial atau seseorang itu merasa diutus di dunia sebagai rasul atau keturunan malaikat.

“Bisa juga seseorang itu dikejar-kejar orang untuk dibunuh dan seterusnya. Selain delusi juga ada sensasi yang dirasakan sebagai kenyataan atau halusinasi. Misalnya, mendengar bisikan gaib, melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada; membaui sesuatu yang tidak ada seperti bau menyan dan seterusnya,” katanya.

Dia menerangkan coping stress juga menjadi upaya pencegahan, yakni mencari solusi atas permasalahan, yakni mencari penyelesaian, mencari ketenangan, kekuatan diri akibat stres.

Baca Juga: Kasus Bunuh Diri Wonogiri Naik 2 Kali Lipat



Selain itu, kata dia, coping stress itu bisa berupa tindakan bersabar atas permasalahan yang terjadi di luar kendali kemampuannya.

“Ketika orang tega melakukan suatus perbuatan itu disebabkan karena dia merasa sudah tidak ada jalan lain. Artinya, ketegaan itu menjadi jalan terbaik menurutnya. Atau saat melakukan perbuatan kejam itu dalam kondisi sakit jiwa,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya