SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

JOGJA—Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) seolah tak terbendung meski ditentang banyak kalangan. Penggunaan energi alternatif pun didengungkan sebagai solusi. Sayang, pengembangannya di sejumlah daerah justru dinilai gagal.

Di DIY, pengembangan bioenergi dari biji jarak pagar (Jatropha Curcas) yang digaungkan pemerintah pusat sejak 2006 dinilai gagal. Sejumlah bantuan peralatan mangkrak lantaran tak digunakan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kepala Bidang Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Dinas Pekerjaan Umum DIY, Edi Indrajaya mengatakan, kini tak ada satu pun desa mandiri energi khususnya yang bersumber dari tanaman jarak di DIY. Padahal enam tahun silam, program ini gencar dipromosikan pemerintah.

Menurut dia, saat itu PT Pertamina bahkan siap membeli minyak jarak dari petani. Pemerintah juga menggelontorkan berbagai peralatan mesin untuk mengonversi biji jarak menjadi minyak nabati.

“Ini memang kegagalan tak hanya di Jogja tapi juga nasional,” terang Edi kepada Harian Jogja pekan lalu.

Kegagalan program tersebut, kata Edi, terjadi merata dari hulu maupun hilir. Di tingkat produksi, petani tak memahami penggunaan teknologi pengolah biji jarak lantaran tak ada pendampingan dari pemerintah. Sementara Pemda, menurutnya, tak dilibatkan secara intensif. Petani pun kesulitan memasarkan hasil panen karena minim pembeli dan harga jual yang  murah sekitar Rp3.000 per kilogram.

Di Kulonprogo, petani kini enggan menanam jarak pagar karena sulitnya menjual hasil produksi. Mereka memilih kembali ke tanaman hortikultura yang dinilai lebih menjanjikan.

Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dispertahut) Kulonprogo, Bambang Tri Budi Harsono mengaku, tanaman jarak pagar masih prospektif dikembangkan. Pada 2007 di Kulonprogo terdapat 100 hektare lahan khusus untuk kebun jarak. Namun ia menyayangkan jarak tidak masuk komoditas unggulan pemerintah. Akibatnya, harga biji jarak rendah dan sulit dipasarkan.

Kebun jarak di Sleman kini juga semakin berkurang sejak dikembangkan 2006. Kala itu luas lahan jarak mencapai 100 hektare di Kecamatan Prambanan dan Turi.  Kini luas lahan jarak tinggal 21,2 hektare.

Pada 2007 dan 2008 dengan 30 hektare lahan, mampu menghasilkan 55,5 kuintal biji jarak kering. Produksi anjlok menjadi 12,4 kuintal dari lahan seluas 7,5 hektare pada 2009 akibat musim kemarau.

“Petani belum menangani secara profesional karena tidak menguntungkan secara nilai usaha tani dibandingkan tanaman lain,” kata Kepala Bidang Kehutanan dan Perkebunan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Sleman, Mashudi.

Gandeng Swasta

Kehadiran swasta dalam pengembangan jarak pagar juga tak banyak membantu. Upaya Pemkab Bantul memfasilitasi petani dengan PT Putra Jepara pada 2010 dinilai terlambat. Sejumlah petani jarak sudah beralih menanam ubi jalar. Tanaman jarak yang awalnya banyak dijumpai di sepanjang pesisir selatan Samas sampai Pandansimo, kini mulai jarang.

Pengepul biji jarak di Dusun Cangkring, Poncosari, Srandakan, Subardi mengatakan, lahan jarak di pesisir Selatan dulu mencapai 10 hektare. Kini luasnya diperkirakan tinggal lima hektare saja yang ditanam di lahan khusus serta pekarangan rumah warga. Ia mengaku hanya bisa mengumpulkan dua kuintal biji jarak dalam seminggu.

“Banyak tanaman jarak di Pandansimo ditebang. Petani tak mau lagi menanam jarak, walau PT Putra pernah menawarkan akan memberikan bantuan bibit,” jelasnya.

Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul, Edy Suharyanta mengakui, baru dapat memanfaatkan biji jarak mulai 2008. Menurut dia, seharusnya pemerintah langsung memberikan bantuan alat dan pendampingan setelah keluarnya Inpres No.1/2006 tentang energi alternatif.

Dispertahut Bantul selama ini juga mengembangkan tanaman jarak di wilayah Potorono, Banguntapan dan Bangunjiwo, Kasihan dengan luas lahan sekitar enam hektare.

Sejak 2006 Pemkab Gunungkidul juga telah menggandeng PT Pura Jatropha Mandiri untuk mengembangkan jarak pagar. Pihak perusahaan memberi bibit jarak gratis dengan imbal balik pembelian hasil panen seharga Rp.2000-Rp3.000 per kilogram.

Hingga 2011 lalu, lahan jarak di Gunungkidul diperkirakan seluas 5.052,92 hektare atau sekitar 30% dari target potensi tanam yang mencapai 15.000 hektare hingga lima tahun ke depan. Luas lahan yang sudah ditanami itu merupakan bagian dari penanaman oleh Kementrian Pertanian dan Kementrian ESDM pada 2006 dan 2007 lalu seluas 214,92 hektare di Desa Kalitekuk Semin, Purwodadi, Tepus dan Pucanganom, Rongkop.

Lokasi lahan jarak pagar itu hampir merata di 15 kecamatan se-Gunungkidul yang tersebar di 45 desa dengan total 11,8 juta batang pohon jarak pagar atau sekitar 2.000 batang setiap hektare. Sejak empat tahun terakhir, dari lahan tersebut rata-rata dihasilkan sekitar 15.500 kilogram biji jarak kering per tahun.

“Saat ini masih terus berjalan lima tahun ke depan kami target bisa menanam 25 juta batang lagi, atau setiap tahunnya bisa menanam lima juta batang,” ujar Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Gunungkidul, Anik Indarwati. (ali)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya