SOLOPOS.COM - Ilustrasi Perumahan (JIBI/Bisnis Indonesia/Dwi Prasetya)

Suasana sebuah proyek pembangunan perumahan di jawa Barat belum lama ini. Kelangan pengembang mengeluhkan aturan baru Bank Indonesia yang dinilai memukul mereka seperti kenaikan suku bunga. (JIBI/Bisnis Indonesia/Dwi Prasetya)

Suasana sebuah proyek pembangunan perumahan di jawa Barat belum lama ini. Kelangan pengembang mengeluhkan aturan baru Bank Indonesia yang dinilai memukul mereka seperti kenaikan suku bunga. (JIBI/Bisnis Indonesia/Dwi Prasetya)

Solopos.com, JAKARTA – Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI) Setyo Maharso menyatakan kalangan pengembang terkena tiga pukulan telak menyusul tiga aturan yang dikeluarkan Bank Indonesia selama tahun 2013.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Adanya kebijakan LTV atau loan to value, larangan KPR inden dan kenaikan BI rate atau suku bunga acuan merupakan tiga pukulan yang telak bagi kami,” kata Setyo Maharso dalam jumpa pers terkait Musyawarah Nasional REI 2013 di Jakarta, Rabu. Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan aturan baru LTV terkait penetapan besaran rasio pinjaman terhadap aset untuk kredit pemilikan rumah (KPR) atau kredit pemilikan apartemen dengan tipe bangunan lebih dari 70 meter persegi yang diberikan kepada debitur.

BI menetapkan rasio LTV ditetapkan sebesar 70 persen atau bank hanya dapat memberikan kredit maksimal 70 persen dari nilai agunan atau nilai keseluruhan rumah tersebut. Sementara larangan KPR inden adalah aturan yang melarang KPR secara inden atau melakukan transaksi jual beli rumah yang bentuk fisiknya belum terbangun, bagi bangunan untuk rumah kedua dan seterusnya. Kenaikan BI rate atau suku bunga acuan dari 7,25 persen menjadi 7,5 persen juga memberikan hantaman yang kuat bagi sektor perumahan karena menurunkan daya beli konsumen untuk membeli rumah dari pengembang.

Setyo Maharso mengemukakan dengan adanya tiga pukulan telak itu tidak membuat pengembang berputus asa. “Pengusaha tidak boleh cengeng dan harus menghadapi tantangan baru ini,” ujarnya. Ia mengungkapkan pihaknya sebenarnya mengusulkan adanya dana alokasi yang dikhususkan bagi perumahan sekitar 1-2 persen dari keseluruhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Usulan tersebut, ujar dia, antara lain berasal dari kebijakan yang menyebutkan 20 persen dana APBN untuk pendidikan dan lima persen untuk kesehatan, tetapi tidak ada khusus perumahan.

Sebelumnya muncul pendapat bahwa aturan baru BI tentang larangan KPR inden untuk rumah kedua dan seterusnya dinilai tidak akan mempengaruhi konsumen kalangan atas. “Kebijakan seperti itu akan berdampak lebih besar kepada properti kelas menengah ke bawah,” kata Associate Director Research Colliers International Indonesia, Ferry Salanto.

Menurut dia, hal tersebut karena kelas menengah adalah pihak yang biasanya membeli rumah tempat tinggal dengan menggunakan fasilitas KPR. Sedangkan sektor residensial kelas atas, lanjutnya, biasanya tidak menggunakan KPR sebagai sumber utama pembiayaan tetapi menggunakan cara tunai atau bertahap.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya