SOLOPOS.COM - Ilutrasi lahan bekas Griya Lawu Asri (GLA), Jeruksawit, Karanganyar. Foto diambil beberapa waktu lalu. (Adib Muttaqin Asfar/JIBI/Solopos)

Program Sejuta Rumah di era Presiden Jokowi masih menghadapi sejumlah masalah.

Solopos.com, SOLO — Jauh dari batas Kota Solo, tak ada jalur angkutan umum, dan aspal jalan yang nyaris tak bersisa. Itulah gambaran bekas kawasan Griya Lawu Asri, Jeruksawit, Gondangrejo, Karanganyar, hingga hari ini. Di sana, ratusan rumah dari batako beratap asbes mangkrak sejak 2010. Hanya segelintir manusia yang mau menghuninya sebelum proyek baru dimulai.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

”Semua bangunan dari batako dan sudah rusak itu akan kami bongkar. Setelah itu akan diganti bangunan baru dengan spesifikasi baru. Dindingnya dari batu bata diplester, bukan batako,” kata Marketing Perumnas Cabang Solo, Suwandi, di kantornya, Selasa (16/6/2015).

Suwandi mengisahkan pembebasan lahan seluas 18,2 hektare tersebut sudah dilakukan sejak 1995. Sudah terlalu lama sehingga dia tak ingat berapa persisnya harga tanah saat pembebasan lahan itu terjadi. Yang jelas, nilainya sangat rendah. ”Itu tanah milik Perumnas. Kemudian lahan itu diminta Rina Iriani untuk dijadikan perumahan bersubsidi, tapi akhirnya bermasalah. Sekarang kami bangun lagi yang baru,” kisahnya.

Hari yang sama, pembongkaran dimulai dari sebuah rumah yang berdiri tepat di tengah-tengah kawasan yang pembangunannya menyeret eks Bupati Karanganyar, Rina Iriani, ke balik jeruji besi itu. Bangunan baru, pengembang baru, dan tentu saja harga baru. Jika di era Rina Iriani harga lahan di sana tak lebih dari Rp25.000/m2, kini nilainya meroket menjadi Rp600.000/m2.

Dipicu pembangunan jalan tol Solo-Kertosono yang hanya terpisah jarak 200 m dari kawasan itu, nilai tanah mendadak melambung tinggi. Tak hanya di kawasan proyek Perumnas, warga setempat kini menjual tanah-tanah kering mereka dengan harga yang sama, Rp600.000/m2. Padahal berdasarkan peta online Badan Pertanahan Nasional (BPN), nilai lahan di sana tak lebih dari Rp200.000/m2.

Semula, tak banyak pengembang yang melirik kawasan Jeruksawit untuk pengembangan hunian baru. Namun kini, harga tanah di sana membuat perumahan murah bersubsidi hampir mustahil dilakukan oleh pemain baru. “Seharusnya, harga tanah saat pembebasan lahan maksimal Rp100.000/m2 [untuk rumah bersubsidi]. Lebih dari itu pengembang akan rugi,” kata salah satu Asisten Manajer Keuangan Perumnas Cabang Solo, Niniek Yulianingsih.

Jeruksawit adalah contoh langkanya lahan murah di Soloraya. Beruntung, Perumnas sudah memiliki tanah itu sejak 20 tahun lalu. Itu pula yang membuat Perumnas masih bisa menjual rumah seharga Rp77 juta hingga Rp110 juta. Rp110 juta adalah harga maksimal sebuah rumah bisa bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% dan mendapatkan subsidi pemerintah.

Terbentur Batasan

Di atas kertas, program subsidi rumah dari pemerintah terlihat menjanjikan. Dengan bunga 5% selama 20 tahun, kredit perumahan rakyat (KPR) bersubsidi ini menjadi kredit paling ringan saat ini. Belum lagi dengan fasilitas tambahan berupa bunga 1% bagi PNS, rumah bukan lagi barang mewah di tengah penurunan daya beli.

Menggiurkan memang, namun masalah baru dimulai. Justru para developer dibuat pusing dengan batasan FLPP yang ditetapkan pemerintah. Salah satunya, harga jual rumah tak boleh lebih dari Rp118 juta di Jawa Tengah agar bisa mendapatkan sederet fasilitas subsidi tersebut.

Lahan dengan harga Rp100.000/m2-Rp200.000/m2 di Soloraya adalah barang langka. Hanya lahan yang berlokasi di lahan yang tidak strategis yang masih dijual dengan harga murah. Itu pun belum tentu bisa dijadikan sebagai lahan permukiman karena bisa terbentur rencana tata ruang wilayah (RTRW).

Contohnya adalah lahan di kawasan sebelah timur Karanganyar Kota, seperti Delingan yang cukup jauh dari industri, pasar, dan aktivitas ekonomi. ”Namun siapa yang mau beli rumah di sana? Apalagi RTRW kawasan itu untuk pertanian. Kalau tidak punya uang besar [untuk menerjang RTRW], jangan coba-coba,” kata seorang developer yang memiliki proyek di Karanganyar, Jumat (5/6/2015) malam.

Branch Manager Bank Tabungan Negara (BTN) Solo, Teguh Wayudi, mengakui pembangunan rumah bersubsidi di Kota Solo dan kawasan sekitarnya adalah hal yang nyaris mustahil.

”Pemerintah mematok Rp118 juta per unit, tipe yang dibolehkan tipe 30 dengan luas tanah 50 m2, kalau developernya murah hati mungkin bisa 84 m2. Yang jadi persoalan, berapa harga pokok yang diperoleh developer. Tidak mungkin di Solo ada tanah yang harganya Rp100.000/m2,” kata Teguh saat berada di Table Talk Tantangan & Tren Bisnis Properti ke Depan di Sunan Hotel Solo, Selasa (9/6/2015).

Data dari di Real Estate Indonesia (REI) Soloraya menyebutkan saat ini ada 1.531 hektare lahan di Soloraya (eks karesidenan Surakarta) yang siap dibangun. Lahan seluas itu bisa untuk membangun sekitar 15.000 rumah berbagai tipe. Tentu saja lahan-lahan tersebut sudah dibebaskan beberapa tahun lalu.

Di wilayah satelit Solo seperti Grogol, Baki, Kartasura, Mojolaban (Sukoharjo), dan Colomadu (Karanganyar), harga tanah sudah mencapai lebih dari Rp1 juta/m2. Namun itu bukan satu-satunya penyebab sulitnya membangun perumahan murah bersubsidi. Masalah klasik di birokrasi dituding ikut berperan besar.

“Sebenarnya kami sudah siap. Kendala kami adalah keterbatasan lahan dan perizinan. Sekarang tinggal kemauan pemerintah daerah dan BPN. Tanpa dukungan mereka, program sejuta rumah ini percuma,” kata Ketua REI Soloraya, Anthony Abadi Hendro P, kepada Solopos.com dalam sebuah pertemuan di kawasan Jl. Veteran, Solo, Kamis (28/5/2015) lalu.

Bersambung…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya