SOLOPOS.COM - Seorang pekerja konstruksi tengah melewati deretan beberapa proyek rumah di Karanganyar, beberapa waktu lalu. (Adib Muttaqin Asfar/JIBI/Solopos/ilustrasi)

Program sejuta rumah di Jateng masih jauh dari target karena banyak faktor.

Solopos.com, SEMARANG — Hingga Agustus 2015 pembangunan rumah tapak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Jawa Tengah baru mencapai 2.880 unit dari target 10.000 unit sepanjang 2015.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ketua Realestat Indonesia (REI) Jateng MR Priyanto menuturkan pembangunan rumah bagi MBR tampaknya hanya akan mencapai 50% dari target. “Memang ada kemudahan, tetapi di daerah belum sinkron dengan pusat, jadi belum bisa melaksanakan secepatnya,” katanya pada Bisnis/JIBI, Sabtu (20/9/2015). Baca: Utopia Rumah Murah di Soloraya.

Priyanto menjabarkan beberapa kemudahan yang diberikan bagi pembangunan MBR oleh pusat belum diakomodasi oleh peraturan daerah. Kebanyakan pemerintah daerah belum mengubah perdanya sehingga fasilitas kemudahan bagi pengembang rumah petak MBR belum memiliki payung hukum.

Pembuatan rumah bagi MBR menganut skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) terangkum dalam program sejuta rumah secara nasional sebagai salah satu upaya mempersempit kesenjangan antara ketersediaan rumah dengan kebutuhan. Khusus untuk Jateng, backlog atau kesenjangan itu tercatat mencapai 1,4 juta unit.

Dalam perkembangannya, selain dihadapkan pada beberapa hambatan seperti perizinan dan birokrasi, biaya pembangunan rumah juga cenderung naik belakangan ini. Priyanto menuturkan, sejumlah material rumah merangkak naik seiring dengan depresiasi nilai tukar rupiah.

Pasalnya, beberapa komponen masih harus didatangkan dari luar. Khusus untuk rumah MBR, pasir lokal sebagai salah satu bahan baku utama pun ikut melambung sekitar 20% akibat kemarau panjang dan menganggu pasokan. Di sisi lain, upah tenaga kerja juga ikut melambung sekira 7%-10%.

Sementara itu, khusus di wilayah Semarang dan sekitarnya, pembangunan pun mulai terganggu dengan keterbatasan lahan yang sesuai dengan skema FLPP. Saat ini, lahan di dalam kota sudah terlampau mahal dan tak sesuai dengan anggaran bagi MBR.

Alhasil, bagi rumah bersubsidi ini pengembang bergeser ke wilayah dekat Demak dan Gunung Pati. Priyanto memandang, pemda seharusnya segera melakukan inventarisasi lahan-lahan yang bisa dimanfaatkan sebagai lahan perumahan bagi MBR dan selanjutnya menggandeng pengembang.

Di sisi lain, REI menilai untuk wilayah Jateng penerapan hunian vertikal bagi MBR untuk mengatasi keterbatasan lahan belum sesuai bagi Jateng. “Dengan upah minimum yang masih sekitar Rp1,4 juta, untuk rusunami sekitar Rp200 juta belum bisa memenuhi,” ungkapnya.

Dengan penghasilan pada kisaran tersebut, jenis rumah yang cocok memang masih berbentuk rumah tapak atau landed house. Hal yang sama juga terjadi bagi pangsa pasar rumah non-MBR. Masyarakat Jateng belum berminat untuk berpindah secara masif ke hunian vertikal.

Kalaupun persediaan rumah tapak menipis, konsumen diyakini cenderung memilih bergeser ke wilayah pinggiran kota, seperti Ungaran dan Bawen. “Sekarang ada tol juga yang mempermudah akses menuju pusat kota,” kata Wakil Ketua REI Jateng Bidang Promosi, Publikasi, Pameran, dan Humas Dibya K Hidayat beberapa waktu lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya