SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Bisnis Indonesia/Rahmatullah)

Program Sejuta Rumah di era Presiden Jokowi dinilai masih menghadapi sejumlah persoalan.

Solopos.com, SOLO — Dalam berbagai kesempatan, berkali-kali Ketua Real Estate Indonesia (REI) Soloraya, Anthony Abadi Hendro P, mengungkapkan kurangnya dukungan pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam program sejuta rumah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun dia enggan membeberkan secara detail soal kurangnya dukungan itu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

”Kami akan protes jika itu sudah kebangetan [keterlaluan]. Saat ini kami akan bicara dulu ke KPT [Kantor Pelayanan Terpadu] soal izin site plane, izin lokasi, dan sebagainya. Baru kemudian ke BPN. Untuk satuan-satuan kerja ini, kami mohon supaya kooperatif,” kata Anthony saat ditemui Solopos.com di Soto Gading Veteran, Solo, Kamis (28/5/2015) lalu.

Setidaknya, katanya, semua satuan kerja pemerintah di daerah harus menyadari bahwa proyek perumahan bersubsidi diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. ”Ini rumah murah, bukan komersial.”

Di kalangan pengembang dan pebisnis properti, beredar rahasia umum yang menyebutkan biaya mengurus serangkaian izin dan sertifikasi lahan memakan porsi besar dalam anggaran proyek. ”Anda tahu? Biaya mengurus lahan dari letter C [lahan yang belum disertifikasi] hingga pecah sertifikat bisa mencapai 30% dari biaya produksi rumah,” ungkap seorang pejabat bank swasta saat ditemui Solopos.com, akhir Mei lalu di Solo.

Beberapa pengembang yang enggan disebutkan identitasnya mengungkapkan masalah serupa. Salah satu contoh biaya yang dinilai terlalu tinggi adalah biaya penurunan/penaikan status tanah dan pemecahan hak atau sering disebut pemecahan sertifikat lahan. Semua developer jelas berurusan dengan tahapan ini.

BPN, melalui pernyataan resmi, berulang kali berkampanye agar siapapun mengurus sertifikasi lahan secara langsung tanpa perantara. Bahkan di situs web bpn.go.id, BPN membeberkan alur proses sertifikasi, mulai dari pendaftaran kali pertama hingga penggabungan/pemisahan hak. Selain alur, situs itu juga membeberkan lamanya proses dan besarnya biaya yang dikeluarkan.

”Kenyataannya, biaya pecah serfikat itu berkisar Rp2,5 juta/bidang hingga Rp4 juta/bidang. Padahal sesuai aturan, biayanya paling hanya Rp250.000/bidang,” kata Rudi (bukan nama sebenarnya), seorang developer yang kini menggarap proyek perumahan di Karanganyar dan rumah bersubsidi di Sukoharjo, Jumat (5/6/2015) malam.

Pria yang usianya belum genap 40 tahun itu mengingatkan tak mudah membuktikan hal ini. ”Kalau mencoba urus sendiri di BPN, kemungkinan disuruh sesuai aturan,” katanya.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 13/2010 menjelaskan rincian perhitungan biaya sertifikasi tanah, mulai pendaftaran pertama kali, perpanjangan hak, penaikan atau penurunan hak, dan sebagainya. PP itu juga mengatur secara rinci komponen tarif pelayanan survei, pengukuran, dan pemetaan tanah, lengkap dengan rumus penghitungannya.

Situs resmi BPN, bpn.go.id, memuat penghitungan tarif pemecahan atau penggabungan hak tanah itu. Tarif pemecahan lahan dengan sertifikat hak milik (SHM) dan bukan tanah pertanian hanya berkisar Rp300.000 per bidang. Tertulis, proses tersebut hanya memakan waktu 15 hari.

Belum lama ini, Solopos.com mencoba menelusuri proses pecah sertifikat di Kantor BPN Karanganyar. Datang dengan alasan hendak memecah sertifikat tanah seluas 1.343 m2 berstatus hak milik di Karanganyar bagian barat menjadi lima bagian, awak Solopos.com menemui seorang petugas di loket.

Setelah dihitung, keluarlah biaya senilai Rp1.089.880. ”Sebut saja Rp1.100.000, ditambah biaya patok masing-masing Rp7.500,” katanya. Tarif tersebut memang sesuai aturan dengan biaya sertifikat perbidang tanah seluas 250 m2 yang tak lebih dari Rp145.000-an.

Namun saat ditanya berapa waktu yang dibutuhkan untuk proses tersebut, petugas itu tak bisa memberikan kepastian. Dia hanya menjelaskan rentetan meja yang harus dilalui sebuah berkas, dari pendaftaran, petugas ukur, tanda tangan bagian pengukuran, dan sederet pengesahan lainnya. ”Jadi panjang sekali, saya tak bisa memastikan. Mungkin hampir setahun,” katanya.

Menurut Rudi, lamanya proses lewat jalur resmi itulah yang tak diinginkan pengusaha, termasuk developer. ”Mana bisa [berlama-lama]? Kalau untuk kepentingan pribadi sih bisa saja. Tapi kalau pengusaha, mana bisa menunggu selama itu?”

Apalagi, sebelum mengurus sertifikasi lahan, mereka sudah harus mengurus sederet perizinan seperti izin lokasi, izin alih fungsi lahan, hingga izin mendirikan bangunan (IMB) di Kantor Perizinan Terpadu (KPT) pemerintah daerah setempat.

Para developer, termasuk dirinya, lebih memilih menggunakan jasa pihak ketiga daripada harus mengurus sendiri di Kantor BPN setempat. ”Biasanya lewat PPAT [pejabat pembuat akta tanah],” jelas Rudi.

Untuk mengecek kebenarannya, Solopos.com mencoba mencari tahu berapa tarif yang ditetapkan untuk proses pemecahan sertifikat sebidang tanah tersebut melalui PPAT. Tak mudah menemukan notaris/PPAT yang mau berbicara soal ini.

Saat Solopos.com memasuki sebuah kantor notaris/PPAT di Ngemplak, Boyolali, yang juga sering mengurus administrasi pertanahan di Karanganyar, tak ada keterangan dari staf setempat kecuali menyarankan untuk menanyakan secara langsung ke sang notaris. Sedangkan sang notaris juga tak menjawab panggilan dan pesan singkat Solopos.com yang mengajaknya bertemu.

Akhirnya, awak Solopos.com yang tak menyebutkan identitas sebagai jurnalis, Kamis (18/6/2015), menanyakan tarif pemecahan sertifikat tanah itu menjadi 10 bidang ke kantor notaris/PPAT terkemuka di kawasan Jl. Lawu, Karanganyar, via telepon. Seorang staf memberikan jawaban berbeda.

”Tidak bisa langsung diketahui berapa tarifnya, lihat dulu sertifikatnya. Apakah hak milik atau yang lain [sertifikat lama/baru/hak guna bangunan]. Kalau hak milik, tidak bisa 10, paling hanya lima,” kata seorang perempuan yang menjadi staf kantor tersebut.

Setelah mendapatkan jawaban bahwa status tanah tersebut merupakan hak milik berikut perinciannya, dia menyebutkan tarifnya berkisar Rp3 juta per bidang. ”Itu per bidang lho ya. Biasanya segitu, tapi persisnya perlu kami konsultasikan ke BPN dulu karena mereka akan melihat dulu sertifikatnya,” jelasnya.

Dengan tarif sebesar itu, tak bisa dipastikan berapa lama proses pemecahan sertifikat tanah itu akan selesai. Saat ditanya jangka waktu prosesnya, staf tersebut enggan menjanjikan. ”Kalau tiga bulan ya tidak mungkin. Sulit bagi Ibu [notaris/PPAT] untuk memenuhinya,” katanya.

Kepala BPN Karanganyar, Dwi Purnama, saat dimintai konfirmasi tentang hal ini, belum memberikan jawaban. Bahkan saat Solopos.com menghubunginya lewat ponsel untuk menjadwalkan pertemuan, Senin (15/6/2015), dia malah bertanya balik. ”Mau buat apa sih?”



Saat dijelaskan adanya keluhan para pengembang tentang proses sertifikasi tanah, dia menjawab dengan nada tinggi. ”Rumit bagaimana? Harusnya Anda membuat kuisioner dulu sebelum bertanya kepada saya,” katanya.

Solopos.com menanggapi dengan berjanji segera mengirim daftar pertanyaan yang dia minta melalui email. ”Ini sudah mau Ramadan, saya sibuk banyak pengajian,” tutupnya. Hingga berita ini ditulis, belum ada respons sama sekali terhadap pertanyaan tersebut. Saat Solopos.com mengirim pesan singkat ke ponselnya, Dwi juga tidak menjawab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya