SOLOPOS.COM - Ilustrasi Pernikahan (JIBI/Harian Jogja/Reuters)

Program KB (Program Keluarga Berencana) salah satunya mencegah pernikahan dini atau anak.

Kanalsemarang.com, SEMARANG-Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Tengah mengajak kalangan pelajar di Kota Semarang untuk menyadari dampak negatif dan mengampanyekan setop perkawinan anak.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Banyak dampak negatif yang diakibatkan dari perkawinan anak,” kata Direktur Eksekutif PKBI Jawa Tengah Elisabeth S.A. Widyastuti usai nonton bareng film Selamat Menempuh Hidup Baru di Semarang, Rabu (12/8/2015).

Dampak-dampak negatifnya, kata dia, antara lain belum adanya kesiapan dalam menjalani kehidupan berumah tangga, baik secara psikologis maupun ekonomi, karena pola pikirnya yang memang belum dewasa.

Ekspedisi Mudik 2024

Dalam beberapa kasus, kata dia, perkawinan anak rentan berakhir dengan perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, sampai persoalan kesehatan karena menyumbang tingginya angka kematian ibu (AKI).

“Semestinya perempuan yang sudah dewasa adalah berusia minimal 18 tahun, sementara laki-laki berusia 25 tahun. Namun, rentang usia dewasa itu ternyata berbeda dengan regulasi yang ada,” katanya.

Pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kata dia, membolehkan perempuan berusia minimal 16 tahun dan laki-laki berusia minimal 19 tahun untuk menikah karena dianggap sudah dewasa.

Dari segi kesehatan, kata dia, perempuan berusia 16 tahun ke bawah belum matang secara organ reproduksi seksualnya maupun mentalnya sehingga rentan menyumbang tingginya AKI dan angka kematian bayi (AKB).

Maka dari itu, kata dia, jejaring perempuan kemudian mengusulkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengubah usia minimal yang dianggap dewasa, yakni perempuan minimal 18 tahun dan laki-laki minimal 25 tahun.

“Ya, kemudian kan permohonan kami ditolak. Kami terus terang merasa kecewa dan prihatin. Namun, kami terus mengajak masyarakat, orang tua, dan remaja untuk menyetop perkawinan anak,” katanya.

Salah satu upaya PKBI Jateng, yakni dengan mengajak kalangan pelajar di Kota Semarang untuk menonton film yang disutradarai Dinda Kanya Dewi itu di E Plaza Lounge, Resto, and Cinema Semarang.

Film yang diangkat dari kisah nyata itu menceritakan tentang siswi remaja SMA diperankan Rachel Amanda yang menjadi korban kekerasan seksual dan kemudian dipaksa oleh orang tuanya untuk menikah.

Elisabeth mengingatkan penyebab perkawinan anak bukan hanya karena kehamilan tidak dikehendaki, melainkan sangat kompleks, seperti faktor kemiskinan dan adat, yang sebenarnya bisa dicegah.

“Kehamilan yang tidak dikehendaki hanya salah satu faktor [penyebab perkawinan anak]. Maka, kami terus mengampanyekan ‘Setop Perkawinan Anak’ pada berbagai kalangan masyarakat,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya