SOLOPOS.COM - Petugas BPJS melayani tenaga kerja. (JIBI/Bisnis/Dok)

Program BPJS Ketenagakerjaan meluncurkan program jaminan pensiun yang diharapkan bisa memberikan manfaat bagi pesertanya saat hari tua.

Solopos.com, SOLO-Tangannya cekatan menggoreng daging ayam di wajan persegi empat panjang yang dipasang di sebuah gerobak berukuran satu kali dua meter. Setelah matang di penggorengan, daging ayam itu diangkat dan ditiriskan untuk kemudian disajikan kepada pembeli.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Begitulah aktivitas Nunuk Sawitri, 45, seorang pedagang ayam goreng di Pasar Gading, Solo, belum lama ini. Namun siapa sangka dia sebenarnya bukanlah pedagang ayam goreng biasa. Dia adalah seorang asisten apoteker berprestasi. Ibu dua orang anak ini dahulu merupakan lulusan terbaik sekolah menengah farmasi. Setelah bekerja di sejumlah apotek dan juga distributor obat, dia memilih membuka usaha dengan modal dari jaminan hari tua (JHT) BPJS yang dia dapatkan beberapa bulan sebelumnya.

“Beli franchise ayam goreng ini sekitar Rp15 juta belum termasuk sewa kiosnya Rp3 juta per tahun. Yah memang menguras kantong tapi untung ada JHT yang cukup membantu,” ujar dia.

Setelah hampir dua puluh menjadi karyawan, dia yakin membuka usaha adalah yang terbaik baginya membantu suami mencari rezeki untuk keluarganya. Kini, dia dan suaminya hanya tinggal mengentaskan anak bungsunya, karena anak sulungnya sudah bekerja. Meski tak memiliki target muluk, dia bertekad akan menjalankan usahanya dengan sekuat tenaga agar kelak di hari tuanya dia tetap produktif dan tidak menjadi beban anak-anaknya atau orang lain.

“Saya sudah capek jadi karyawan. Saya ingin punya usaha sendiri,” jelasnya dengan penuh percaya diri. Nunuk merupakan salah satu dari sekian banyak pekerja yang telah mencairkan JHT-nya yang telah terkumpul selama bertahun-tahun. Nunuk merupakan salah satu dari sekian banyak tenaga kerja yang telah memetik hasil jerih payahnya selama menjadi karyawan.

Mekanisme pencairan dana JHT sempat menimbulkan kegaduhan ketika BPJS Ketenagakerjaan yang mulai beroperasi penuh pada awal Juli lalu. Saat itu BPJS menetapkan ketentuan baru tentang JHT, yakni pencairannya hanya bisa dilakukan setelah 10 tahun.
Itu pun hanya sebagian. Sedangkan untuk pencairan penuh hanya dapat dilakukan setelah memasuki usia pensiun atau 56 tahun. Pencairan penuh juga dapat dilakukan jika peserta mengalami cacat total, atau meninggal, atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

Peraturan tersebut ditolak sebagian pekerja, khususnya yang mengalami PHK. Sebab, dalam aturan sebelumnya, para pekerja yang terkena PHK, sepanjang sudah menjadi peserta selama 5 tahun 1 bulan, diperbolehkan mencairkan dana JHT tersebut. Sejumlah serikat pekerja pun mengecam peraturan baru tersebut dan bahkan mengancam akan melakukan mogok nasional.

Akhirnya pemerintah pun merespons cepat aspirasi para pekerja dengan menerbitkan PP No.60 tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua yang ditindaklanjuti dengan Permen No.19 tahun 2015 tentang tata cara dan persyaratan pembayaran JHT.

Dalam peraturan tersebut disebutkan peserta yang tidak lagi bekerja termasuk yang keluar kerja dengan sengaja (resign) atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa mencairkan jaminan hari tuanya satu bulan setelah berhenti bekerja. Selain itu, peserta juga bisa mencairkan dana JHT jika akan meninggalkan Indonesia dan bekerja di luar negeri.

Maka sejak 1 September 2015 lalu kantor-kantor BPJS hampir setiap hari selalu ramai oleh orang-orang yang akan melakukan pencairan dana JHT. Bahkan saking banyaknya, pihak BPJS terpaksa membatasai antrean dan perlu beberapa hari sejak pendaftaran hingga pencairan. Yang jelas, persyaratan yang lengkap akan memperlancar proses pencairan JHT.

Belum Dipahami

Direktur BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn G Masassya, dalam pernyataannya di sebuah media online, menyatakan falsafah JHT belum terlalu banyak dipahami masyarakat khususnya para pekerja. Dia menjelaskan program JHT sesungguhnya adalah program keuangan yang juga bisa dimasukkan dalam kategori perencanaan keuangan dalam bentuk tabungan hari tua.

Mengingat setiap pekerja memiliki risiko salah satunya menjadi tua. Tabungan itu dilakukan dalam bentuk membayar iuran, di mana total iurannya sebesar 5,7 persen per bulan dari upah yang diterima. Dari 5,7 persen itu, sebesar 3,7 persen dibayarkan pengusaha atau pemberi kerja dan 2 persen lagi dibayarkan pekerja. Format kontribusi iuran secara bersama antara pekerja dan pengusaha itulah yang membedakan program JHT dengan tabungan biasa ataupun asuransi.

Akumulasi dana JHT juga bisa ditarik sebagian setelah seorang pekerja mengikuti program JHT selama 10 tahun, yakni sebesar 10 persen untuk persiapan hari tua dan maksimal 30 persen untuk membantu membayarkan uang muka perumahan jika yang bersangkutan hendak membeli rumah. Selebihnya dana bisa dicairkan saat pensiun, terkena PHK, berhenti bekerja atau pindah ke luar negeri seperti yang dijelaskan di atas.

Penarikan dana JHT dinilai tak akan berdampak terhadap liabilitas BPJS. Sebab, BPJS Ketenagakerjaan memiliki Rp34 triliun dalam bentuk deposito di bank. Hingga semester I lalu, total dana investasi jaminan hari tua tercatat sebesar Rp170,84 triliun plus penerimaan iuran sebanyak Rp13,19 triliun. Memang idealnya JHT dibagikan secara utuh saat masa pensiun tapi melihat kenyataan di lapangan kemungkinan itu sulit terwujud. Sebagian masyarakat kita masih jauh dari hidup sejahtera. Apalagi kondisi ekonomi nasional yang masih lesu, beban masyarakat terutama kaum pekerja dan buruh akan semakin berat.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Februari 2015, pendapatan per kapita tahun lalu memang mengalami kenaikan sekitar Rp3,53 juta atau sebesar Rp 38,28 juta per tahun. Namun jika dikonversikan ke dolar AS, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia justru terlihat menurun. Setiap warga Indonesia tercatat hanya mengantongi perdapatan US$ 3.531,45 pada tahun 2014. Angka ini lebih rendah dari tahun sebelumnya sebesar US$ 3.669,75.

Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, pendapatan per kapita Indonesia masih berada pada posisi rendah dimana Malaysia 3 kali lipat dibanding kita dengan pendapatan per kapita sebesar US$ 13.000 sedangkan Singapura sebesar US$ 51.000 per tahun atau 11 kali lipat dibanding Indonesia. Di sisi lain, masih menurut BPS per Maret 2015, angka kemiskinan di Indonesia naik sekitar sepuluh persen dari 27,73 juta jiwa menjadi 28,95 juta jiwa.

Sementara bagi buruh, dengan upah minimum kota/kabupten (UMK) yang hanya biasanya setara atau bahkan tak jarang di bawah kebutuhan hidup layak (KHL), mereka nyaris tidak bisa menabung karena gajinya hampir habis untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Membuka usaha merupakan adalah salah satu pilihan logis bagi mereka yang ingin “lulus” jadi pekerja dengan menjadi wirausaha. Dana JHT diharapkan bisa membantu mereka hidup lebih mandiri.

Sinergitas

Selain program JHT, BPJS Ketenagakerjaan saat ini juga sudah menggulirkan Program Jaminan Pensiun (JP) yang diharapkan bisa melengkapi program-program lain terutama Program JHT.
Berbeda dengan JHT, JP merupakan tabungan dari bagian pendapatan selama aktif bekerja dan disisihkan untuk bekal memasuki hari tua. Uang pensiun tersebut akan dibayarkan setelah pekerja pensiun atau usia 56 tahun.

Besaran uang pensiun tergantung pada iuran dan lamanya menjadi peserta program JP. Minimal peserta harus mengikuti program JP ini selama 15 tahun. Namun, bagi pekerja yang masa kerjanya di bawah 15 tahun, diberikan kesempatan secara mandiri mengiur sampai 15 tahun. Tapi, jika pilihan itu tidak diambil, maka pekerja bersangkutan bisa mengambil pensiunnya sekaligus (lumpsum).

Program JP mensyaratkan pekerja mengiur sebesar 3% setiap bulan dari gaji pokok, dimana 1% dipotong dari pekerja dan 2% persen iuran dari perusahaan. Upah maksimum yang dilaporkan mengikuti program pensiun dasar BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp7 juta. Di luar itu, pekerja pun dapat menyertakan pada program pensiun dari swasta. Rata-rata pensiun yang diterima pekerja pun sebesar 40% dari gaji pokok yang diterimanya setiap bulan.

BPJS menargetkan pada tahun 2018, jumlah pekerja formal yang ikut dalam BPJS Ketenagakerjaan mencapai 80 persen. Sementara untuk pekerja informal setidaknya ditargetkan sebanyak 5 persen. Kebijakan ini pun tak luput dari pro dan kontra antara pengusaha dan pekerja.



Sebagian pengusaha mengaku keberatan dengan bila harus membayar iuran pensiun bagi pekerjanya. Iuran tersebut akan membebani mereka. Di sisi lain, kelompok pekerja menganggap iuran tersebut terlalu kecil dan tidak bisa memberikan benefit berarti saat pekerja pensiun kelak. Apalagi jika dibandingkan dengan negara lain iuran jaminan pensiun tersebut juga terlalu kecil, misalnya Singapura 33 persen, Tiongkok 28 persen, dan Malaysia 23 persen.

Keberatan yang disampaikan baik pengusaha maupun pekerja adalah sesuatu yang wajar. Di sinilah pemerintah dituntut untuk lebih mendengar aspirasi kedua elemen yang merupakan bagian penggerak perekonomian bangsa tersebut. Penetapan besaran iuran sebaiknya juga melihat latar belakang serta kemampuan pengusaha, dengan kata lain bisa bersifat lebih fleksibel. Mengingat kondisi ekonomi yang sedang lesu tak jarang pengusaha yang menghadapi kesulitan memenuhi hak pekerjanya.

Pemerintah dalam hal ini BPJS Ketenagakerjaan juga harus bersikap tegas jika mengetahui perusahaan yang sengaja menghindar dari kewajibannya memenuhi hak pekerja, padahal sebenarnya perusahaan tersebut memiliki kemampuan yang memadai.
Sementara di sisi lain , implementasi JP oleh BPJS nantinya tetap mempertimbangkan juga beradaan industri dana pensiun sukarela yang telah ada.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah pelaku industri dana pensiun mencapai 266 unit dengan rincian 194 merupakan Dana Pensiun Pemberi Kerja- Program Pensiun Manfaat Pasti (DPPK PPMP), 47 Dana Pensiun Pemberi Kerja- Program Pensiun Iuran Pasti (DPPK- PPIP), dan 25 DPLK. Industri tersebut baru menjaring sekitar 3 juta- 4 juta pekerja. Padahal menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk bekerja pada Februari 2015 telah mencapai 120,8 juta orang. Sementara menurut OJK, total aset bersih industri dana pensiun per akhir Maret 2015 mencapai Rp193,88 triliun.

Jadi sebenarnya “kue” dana pensiun masih sangat besar untuk dinikmati bersama termasuk oleh industri dana pensiun sukarela. Mengingat mereka juga merupakan aset perekonomian bangsa yang berhak mendapat kesempatan maju dan berkembang.

Sehingga keberadaan JP dari BPJS dan industri dana pensiun nantinya harus bisa saling melengkapi dalam sinergitas yang saling memberi manfaat satu sama lain.

Sejak beroperasi pada 1 Juli 2015, program JP sudah diikuti oleh 4,6 juta pekerja dan diharapkan akan terus bertambah tidak hanya dari pekerja di sektor formal namun juga masyarakat yang bekerja di bidang non formal. Peluang menjaring pekerja sektor informal yang saat ini mencapai 70 juta orang, bisa digarap lebih serius oleh JP untuk bersaing secara sehat dengan industri dana pensiun yang telah ada.

Dengan payung perlindungan dari program Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun ini diharapkan masyarakat, baik itu pekerja formal maupun informal beserta keluarganya akan semakin merasa tenang menapaki hari tua, karena untuk hidup layak, aman, dan tenteram di negeri ini adalah hak setiap anak bangsa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya