SOLOPOS.COM - Dyah Sujirah atau Sipon, istri aktivis Wiji Thukul. Foto diambil tahun 2012. (Dok Solopos)

Solopos.com, SOLO — Siti Dyah Sujirah yang akrab disapa Mbak Pon atau Sipon adalah profil perempuan tegar dan kuat. Hingga akhir hayatnya, ia masih setia dan tak pernah lelah mencari sang suami, Wiji Thukul, yang hingga kini tak diketahui keberadaannya.

Wiji Thukul hilang saat pergolakan reformasi 1998. Selama 24 tahun, Sipon menanti dan terus mencari tahu keberadaan penyair dan aktivis hak asasi manusia (HAM) itu.

Promosi Jaga Jaringan, Telkom Punya Squad Khusus dan Tools Jenius

Namun, perjuangan Mbak Pon harus berhenti ketika ia dipanggil Yang Maha Kuasa pada Kamis (5/1/2023) siang. Serangan jantung memaksanya harus menyerah pada nasib, pergi meninggalkan dunia tanpa tahu di mana suaminya berada.

Dari informasi mengenai profil yang dihimpun Solopos.com, Mbak Pon atau Sipon berusia 55 tahun saat meninggal dunia pada 5 Januari 2023. Ia menikah dengan Wiji Thukul yang saat itu merupakan seorang penyair pada 1988.

Saat itu, Wiji Thukul terkena dengan puisis-puisinya yang banyak berbicara tentang kritik terhadap pemerintahan Orde Baru dan situasi sosial masyarakat. Ketika terjadi pergolakan reformasi pada 1998, Wiji Thukul ikut berjuang bersama aktivis lainnya.

Sampai akhirnya Wiji Thukul hilang dan sekarang, 24 tahun kemudian, belum juga diketahui keberadaan maupun nasibnya. Sipon dan Wiji Thukul dikaruniai dua orang anak. Anak pertama seorang perempuan bernama Fitri Nganthi Wani lahir pada 16 Mei 1989.

Sedangkan anak kedua, Fajar Merah, lahir pada 23 Desember 1993. Profil anak kedua Mba Pon atau Sipon itu disebut mirip dengan sang ayah, Wiji Thukul. Perawakannya langsing dan tegak, wajahnya pun segaris dengan Wiji Thukul.

Dalam wawancara dengan Solopos.com pada 2012 lalu, Sipon yang asli Jagalan, Jebres, Solo, mengaku hanya mengenyam pendidikan sampai Kelas V SD. Saat itu, ayahnya diduga gila dan dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ).

Ayah Seorang Veteran Perang

Sipon merasa malu, sering diolok-olok teman sekelasnya sehingga memutuskan berhenti sekolah. Sejak itu, ia memilih bekerja sebagai buruh dan diselingi bermain teater di sanggar.

“Hobi saya dulu suka mendengar kisah sejarah. Bagaimana ayah yang saat muda dulu berperang melawan bangsa asing. Sangat heroik dan saya betah,” tuturnya.

Mbak Pon atau Sipon menceritakan profil ayahnya yang seorang veteran perang. Hidupnya sederhana dan berprinsip ikhlas, tidak meminta imbalan. “Ayah mengajarkan beri yang terbaik untuk negara, jangan meminta apa pun tapi kalau diberi jangan ditolak,” kata Sipon kala itu.

Ia mengagumi ayahnya sebagai sosok tokoh yang berjuang tanpa pamrih, tanpa mengharap kenikmatan setelah berhasil. Berbeda dengan kondisi bangsa saat ini yang kekurangan figur pemimpin yang mengerti keinginan rakyat, turut bersimpati dan amanah.

Terkait sang suami, Sipon menceritakan Maret adalah bulan yang memberikan banyak kenangan hidup baginya bersama suaminya. “Maret banyak kenangan. Awal bertemu ya bulan Maret, pisah dan mulai hilang kontak ya bulan Maret,” tuturnya.

Melalui organisasi Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi), Sipon selalu memperjuangkan 13 aktivis yang diculik pada masa 1996-1998. Perjuangannya sebagai aktivis tak lekang oleh waktu.

Meski sudah bertahun-tahun berlalu, Sipon saat itu masih memiliki keyakinan suaminya, Wiji Thukul atau Wiji Widodo, masih ada, hidup dan mulia di tengah-tengah masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya