SOLOPOS.COM - Abdul Haris Nasution. (Sejarahri.com)

Solopos.com, SOLO — Berikut ini Solopos.com rangkumkan profil Abdul Harris Nasution Jenderal TNI yang selamat dari peristiwa Gerakan 30 September atau lebih dikenal dengan G30S/PKI.

Peristiwa G30S/PKI menjadi salah satu sejarah kelam di Indonesia karena menelan banyak korban jiwa dari berbagai kalangan. Beberapa di antara tujuh jenderal yang dibunuh dan dimasukkan ke bekas sumur di kawasan Lubang Buaya Jakarta Timur.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dari kisah pembunuhan terhadap sejumlah jenderal itu, ada salah satu jenderal yang berhasil selamat, yakni Jenderal A. H. Nasution. Lalu, bagaimana profil Jenderal AH Nasution? Berikut ini Solopos.com rangkumkan profil Jenderal A. H. Nasution yang dikutip dari berbagai sumber.

Jenderal TNI Abdul Harris Nasution lahir dari pasangan H. A. Haslim Nasution dan H. Zahra Lubis pada tanggal 3 Desember 1918 di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Dikutip dari uinbanten.ac.id dalam karya tulis berjudul Peranan Jenderal A. H. Nasution dalam Peristiwa 17 Oktober 1952 karya E. Fathurrohman, ayahnya, yakni Haslim, merupakan seorang pedagang dan anggota Sarekat Islam.

Keluarganya dikenal religius dan taat dalam menjalankan syariat Islam. Karena hal itu, Haslim berkeinginan agar A. H. Nasution melanjutkan ke sekolah agama seusai tamat sekolah dasar.

Baca Juga : Ini Sosok Jenderal yang Diculik PKI, Salah Satunya Lahir di Sragen

Akan tetapi, keinginan tersebut tak sejalan dengan istrinya, Zahra. Ibu A. H. Nasution, Zahra mempunyai keinginan agar anaknya dapat melanjutkan ke sekolah umum yang saat itu dikenal sebagai sekolah Belanda.

Nasution muda menempuh pendidikan dasar di Hollandsche Inlandsche School (HIS) pada tahun 1925. Kemudian pada tahun 1932 ia melanjutkan pendidikan ke Hollandsche Indische Kweekschool (HIK), yakni sekolah keguruan di Bukittinggi.

Cita-cita sebagai Guru

Tahun 1935, Nasution menamatkan sekolah guru di Bandung, Jawa Barat. Di sanalah ia bertemu dengan Artawi, pemuda asal Madura dengan latar belakang keluarga yang terlibat dalam pergerakan nasional.

Kedekatannya dengan Artawi membuka cakrawala Nasution seputar dunia militer. Hingga akhirnya ia tertarik dan bercita-cita menjadi tentara.

Mulanya, Nasution memiliki cita-cita sebagai seorang pendidik. Nasution memang sempat menjadi guru saat berada di Bengkulu dan Palembang. Namun, pertemuannya dengan Artawi dan kegemarannya membaca buku sejarah, membuat keinginannya menjadi tentara menjadi lebih kuat.

Baca Juga : Menyibak Latar Gerakan Kiri di Lumbung Merah Klaten

Untuk meuwujudkan keinginannya, Nasution belajar keras agar dapat mengikuti ujian Algemene Middelbare School (AMS). Hasilnya, ia dinyatakan lulus. Pada tahun 1940, Belanda mendirikan Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) atau pendidikan perwira cadangan.

Pemuda Indonesia dengan ijazah HBS maupun AMS diperkenankan untuk mendaftar. Nasution pun tak mau ketinggalan. Dia dinyatakan lulus seleksi CORO. Saat itu tak banyak pemuda Indonesia yang berhasil lolos dan dapat menjadi bagian dari CORO.

Setelahnya, Nasution diangkat menjadi Pembantu Letnan Calon Perwira, Cadet Vaandrig. Dia ditempatkan di Batalion 3, Kebalen, Surabaya. Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, Nasution kembali ke Bandung dan menjabat sebagai pegawai Kotapraja di sana.

Usai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, Nasution didaulat menjadi penasehat Badan Keamanan Rakyat (BKR). Tak lama, Nasution diangkat menjadi Kepala Staf Komandemen TKR Jawa Barat yang bermarkas di Tasikmalaya.

Mendampingi Jenderal Sudirman

Melansir dari kanal YouTube metrotvnews, pada Mei tahun 1946, Nasution diangkat sebagai Panglima Regional Divisi Siliwangi di Jawa Barat. Di masa itulah Nasution mengembangkan teori perang teritorial untuk melawan tentara Belanda yang melancarkan Agresi Militer I di Indonesia.

Baca Juga : Pierre Tendean, Sosok Ajudan Tampan Korban G30S/PKI

Dan di tahun 1948, Nasution diangkat menjadi Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia mendampingi Jenderal Sudirman. Di situlah Nasution disebut-sebut mengusulkan strategi perang gerilya untuk melawan Belanda.

Lika-liku perjalannya begitu panjang. Presiden Sukarno sempat menunjuk langsung Nasution untuk menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Semasa era Demokrasi Parlementer, Presiden Sukarno sempat mencopot jabatannya karena dianggap berada dibalik peristiwa 17 Oktober 1952. Peristiwa tersebut bahkan sempat membuat Nasution menganggur hingga 3 tahun. Ia mengisi waktunya untuk menulis buku berjudul Pokok-Pokok Gerilya.

Tahun 1958, Nasution sempat didaulat menjadi Menteri Keamanan Nasional berpangkat Jenderal. Pada periode Demokrasi Terpimpin tahun 1962 Nasution didaulat menjadi Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata dengan pangkat Jenderal penuh.

Dikutip dari Hari-Hari Terakhir Sukarno karya Peter Kasenda, tak diketahui bagaimana awal mula hingga Letnan Kolonel Untung meyakini bahwa pada 5 oktober 1965 bertepatan dengan HUT ke-20 ABRI, Dewan Jenderal akan melancarkan kudeta terhadap Presiden Sukarno.

Ketujuh Jenderal tersebut Jenderal A.H. Nasution, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Suprapto, Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal M. T. Haryono, Brigadir Jenderal Sutoyo, dan Brigadir Jenderal Pandjaitan.

Baca Juga : Sepeda Onthel Peninggalan Brigjen Katamso Kini Dimiliki Seorang Dokter Sragen



Untuk menggagalkan rencana kudeta itu diceritakan bahwa para perwira tinggi itu akan dijemput paksa. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari. Sekitar pukul 03.00 WIB seluruh pasukan digerakkan untuk menuju ke lokasi masing-masing sasaran dan wajib berkumpul lagi di Lubang Buaya pada pukul 06.00 WIB paginya.

Mulanya, gerakan tersebut direncanakan hanya sebagai misi penjemputan secara paksa. Tak mengira bahwa harus ada darah yang tumpah dan timbul korban jiwa. Hal tersebut tak berjalan sebagaimana mestinya. Tiga Jenderal meninggal di tempat dan sisanya ditembak di Lubang Buaya.

Lolos dari Peristiwa G30S/PKI

Jenderal A. H. Nasution berhasil lolos dalam serangan tersebut. Pada pagi buta yang kelam itu, pasukan tiba dan mendobrak kediaman Nasution. Mengetahui hal tersebut, istrinya yang semula sempat membuka pintu untuk melihat apa yang terjadi, lantas menutup kembali pintu tersebut.

Sebagaimana dilansir dari kemdikbud.go.id, Nasution yang semula tidak percaya nyaris saja dihujani tembakan dari pasukan yang telah menanti di depan pintu. Mardiah, adik perempuan Nasution langsung berlari mengambil putri kedua Nasution, Ade Irma Suryani, untuk diselamatkan dari kamar tersebut.

Istri Nasution, Johana Sunarti, mengarahkan suaminya untuk lari melalui pintu lain. Nasution berhasil melarikan diri dengan melompati dinding pagar dan bersembunyi di pekarangan rumah yang saat itu menjadi tempat tinggal Duta Besar Irak.

Baca Juga : Hutan Larangan Kendal, Saksi Bisu Pembantaian G30S-PKI di Jawa Tengah

Lettu Pierre Tendean yang saat itu ditugaskan sebagai ajudannya justru menjadi korban. Pelaku penculikan kala itu mengira Pierre Tendean sebagai Jenderal A. H. Nasution. Hal yang membuat sedih, putrinya, Ade Irma Suryani, tertembak dan sempat dirawat di RSPAD. Ia meninggal dunia di usia yang masih kecil, 5 tahun.

Nasution memberikan tulisan pada nisan Ade Irma Suryani yang berbunyi “anak saya yang tercinta, engkau telah mendahului gugur sebagai perisai ayahmu”.

Sebagaimana ditengok dari kanal YouTube Hendri Glory, pada bulan Februari tahun 1966 setelah Tritura, Nasution berhenti sebagai Menko Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB). Namun, setelah Supersemar dan perombakan kabinet, Nasution kembali ditugaskan menjadi Wakil Panglima Besar Komando Ganyang Malaysia.

Nasution juga sempat dipilih menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Seusai memasuki masa pensiun, Nasution tak pernah melewatkan perkembangan politik di Indonesia. Berbagai sebutan diberikan kepada Nasution di antara Bapak Angkatan Darat, Bapak Dwifungsi ABRI, serta sesepuh ABRI.

Nasution bahkan disebut juga sebagai Jenderal tanpa pasukan dan politisi tanpa partai. Jenderal A. H. Nasution meninggal dunia pada tanggal 6 September tahun 2000 di Jakarta karena menderita stroke dan sempat mengalami koma. Jenazahnya disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

Baca Juga : Kisah Kiai Tartibi Asal Trucuk Klaten Dihabisi PKI hingga Terluka di Kepala

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya