SOLOPOS.COM - Sejumlah buruh tani memanen gabah dengan menggunakan thresher atau mesin perontok di wilayah Desa Klandungan, Kecamatan Ngrampal, Sragen, Minggu (5/2/2023). (Istimewa/KTNA Sragen)

Solopos.com, SRAGEN — Di saat harga gabah kering panen (GKP) tinggi di atas Rp5.500 per kg tetapi produksi padi para petani justru anjlok di musim panen, Februari 2023 ini. Hasil petani yang turun drastis itu diduga karena faktor tanaman padi yang kerdil.

Menyikapi hal tersebut, Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Sragen mendesak Dinas Ketahanan Pangan Pertanian dan Perikanan (DKP3) Sragen dan Kementerian Pertanian segera bertindak dan memberi solusi atas turunnya produksi padi para petani.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ketua KTNA Sragen, Suratno, mengungkapkan di saat harga GKP tinggi tetapi petani rugi karena produksi padinya anjlok seperti pada musim panen sebelumnya. Suratno meminta DKP3 Sragen bisa membuat data yang valid terkait produksi gabah petani yang turun.

Dia meminta realisasi panen pada Februari 2023 ini didata betul per kelompok tani sehingga bisa mengetahui anjloknya produksi gabah.

“Jangan hanya mengambil sampel. Harga memang tinggi bisa mencapai Rp5.600 per kg. Untuk padi mentik harganya bisa Rp6.300 per kg. Petani tidak menikmati harga tinggi karena produksi gabahnya turun. Mendingan harga normal tetapi produksinya maksimal,” katanya kepada Solopos.com, Senin (6/2/2023),

Dia meminta DKP3 Sragen dan Kementan mencari penyebab atas produksi gabah yang turun itu dan segera mengambil solusinya. Dia mengatakan turunnya produksi gabah itu apa karena pupuk kurang berimbang, apa karena program empat kali panen, atau kurangnya kandungan PH tanah?

Problem itu sudah disampaikan KTNA sejak musim panen akhir 2022 lalu tetapi sampai sekarang belum ada solusi dari pemerintah.

“Jangan sampai produksi padi yang turun ini terulang untuk kali ketiga musim tanam kedua nanti,” pintanya.

Suratno mengatakan jangan sampai ada pembiaran atas turunnya produksi gabah di Sragen yang merupakan penyangga pangan nasional. Dia berharap pemerintah berpihak ke petani dengan mengalokasikan dana APBD untuk mengatasi dampak turunnya produksi padi tahun ini.

Seorang penebas gabah, Simin, 60, mengatakan hasil tebasan padi itu menunjukkan produksi turun. Dia mengungkapkan dalam satu hektare tanaman padi itu biasanya mendapatkan 80-90 sak, tapi ternyata hanya dapat 60 sak padi. Bahkan penebas lainnya lebih parah, dalam satu hekatre hanya mendapatkan 39 sak padi.

“Turunnya produksi gabah itu karena tanamannya kerdil. Gabahnya bagus tetapi produktivitasnya turun. Saya kalau menebas itu normal bisa Rp8 juta-Rp10 juta per patok. Sekarang saya beli hanya Rp3 juta-Rp3,5 juta. Saya lebih baik beli kiloan daripada tebasan. Dengan beli Rp3 juta-Rp3,5 juta itu hanya dapat sembilan sak,” jelasnya.

Simin mengatakan kondisi turunnya produksi GKP itu terjadi di wilayah Sambi Kecamatan Sambirejo, Desa Tunggul Gondang, dan sekitarnya. Dia mengakui kalau harga padinya memang tinggi tetapi produksi gabahnya kurang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya