SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Jakarta (Solopos.com)– Ketua DPR Marzuki Alie mengaku prihatin atas berbagai opini yang berkembang terhadap pembangunan Gedung DPR, dari persoalan yang substantif berubah menjadi persoalan politik. Sebagai Kompasianer, Marzuki Alie menuangkan keprihatinannya:

Pembangunan Gedung DPR tidak bisa dibaca dan dilihat sebagai persoalan yang sederhana sebagimana diopinikan untuk kenyamanan kerja atau kemewahan anggota DPR, tetapi harus dilihat sebagai konsep besar perubahan lembaga DPR, dari paradigma lama ke paradigma baru, sesuai dengan perubahan konstitusi yang sudah diamandemen sebanyak empat kali dari tahun 1999-2002.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sejak pertama kali dilantik menjadi Ketua DPR pada Oktober 2009, saya membaca hasil jajak pendapat Kompas bahwa kepercayaan publik terhadap lembaga ini hanya 24 persen, artinya lembaga ini sangat tidak kredibel di mata rakyat yang diwakilinya. Sebagai lembaga representasi rakyat, dengan tingkat kepercayaan yang demikian rendahnya, tentu ada sesuatu yang salah dengan lembaga ini.

Dengan pengetahuan yang terbatas dan sedikit pengalaman, saya mencoba mencari tahu bagaimana sebenarnya posisi DPR pada saat itu, baik dari sisi internal maupun dari lingkungan eksternalnya. Saya mengajak diskusi beberapa tenaga ahli DPR yang sudah belasan tahun mengabdikan dirinya di lembaga yang bergengsi ini. Namun, sulit mendapatkan jawaban yang konkret sehingga sulit diformulasikan agar mudah dicarikan solusi yang tepat.

Sejalan dengan usaha DPR periode sebelumnya untuk meningkatkan kinerja DPR, maka selaku Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) bersama anggota BURT lainnya, yang terdiri dari perwakilan 9 fraksi, sepakat dibentuk Panja Renstra DPR yang dipimpin oleh Pius Lustrilanang dari Fraksi Gerindra.

Setelah melalui proses diskusi yang panjang dan dibantu oleh Konsultan Manajemen dari salah satu universitas negeri yang berpengalaman dalam menyusun perencanaan strategik, maka perlu dilakukan perubahan yang mendasar, baik dari sisi kelembagaan pendukung/sekretariat jenderal maupun Kedewanan, meliputi perubahan dalam organisasi pendukung, sistem kerja, pembenahan SDM dan penguatan infrastruktur, menyesuaikan dengan amandemen konstitusi UUD 1945, yang disusun dalam Rencana Strategis DPR 2010-2014 dan ditetapkan dalam Keputusan DPR-RI No. 08/DPR-RI/IV/2009-2010.

Perubahan mendasar perlu dilakukan karena sebagian besar kelembagaan sistem pendukung, termasuk infrastruktur yang ada di DPR saat ini, adalah sisa-sisa Orde Baru, di mana peran DPR hanya sebagai stempel pemerintah sesuai dengan konstitusi yang belum diamandemen.

Inilah pertama kali, sejak zaman kemerdekaan sampai berakhirnya Orde Baru dan 10 tahun masa reformasi, DPR baru mempunyai rencana strategis yang memuat visi, misi, strategi, dan program yang harus dilakukan selama masa DPR periode 2009-2014.

Dalam Renstra DPR jelas disebutkan bahwa visi ke depan dari DPR adalah “Terwujudnya DPR RI sebagai lembaga perwakilan yang kredibel dalam mengemban tanggung jawab mewujudkan masyarakat adil dan makmur”.

Implementasi dari visi ini dapat dilihat dari empat misi DPR, yaitu: 1. Mewujudkan penyelenggaraan fungsi legislasi yang efisien dan efektif. 2. Mewujudkan penyelenggaraan fungsi penganggaran negara yang akuntabel dan transparan. 3. Mewujudkan penyelenggaaan fungsi pengawasan yang transparan dan efektif. 4. Mewujudkan kelembagaan DPR yang kuat, aspiratif, responsif, dan akomodatif.

Untuk mencapai visi dan misi tersebut, akan ditempuh enam langkah strategis, yaitu: 1.  Mengoptimalkan peran Alat Kelengkapan Dewan. 2.  Mewujudkan tata kelola penguatan kelemabagaan. 3.  Meningkatkan efektivitas kerja dan kinerja kedewanan. 4.  Mengoptimalkan peran dan fungsi pimpinan DPR sebagai juru bicara kelembagaan. 5.  Mengoptimalkan peran unsur pendukung. 6.  Melaksanakan penguatan manajemen lembaga perwakilan.

Langkah strategis tersebut kemudian dijabarkan dalam program aksi atau kegiatan yang disusun dalam program tahunan.

Terkait dengan pembangunan Gedung DPR, sebagaimana dijelaskan pada awal tulisan ini yang sudah berkembang menjadi isu politik, tidak bisa dilepaskan dengan keseluruhan program yang telah disusun secara rinci dalam renstra tersebut, bukan sesuatu yang berdiri sendiri yang bisa dimintakan pendapat kepada rakyat melalui survei dengan pertanyaan “setuju” atau “tidak setuju” tanpa penjelasan yang konprehensif tentang usaha DPR untuk mencapai visi sebagai lembaga yang kredibel, yang mendapatkan kepercayaan masyarakat, sebagai lembaga representasi rakyat.

Melakukan reformasi kelembagaan DPR merupakan persoalan yang substantif, bukan persoalan politik, sehingga apabila masalah substantif diputuskan dengan pertimbangan politik, hasil akhirnya sangat merugikan kepentingan DPR dan rakyatlah yang paling besar merasakan kerugiannya.

Penataan kawasan parlemen dan pembangunan Gedung DPR hanyalah bagian kecil dari program besar DPR yang telah disusun dalam Renstra DPR 2010-2014.

Dengan konsep pemikiran yang jelas dan terukur, walaupun pada awal tahun 2010 semua perencanaan Gedung DPR sudah diselesaikan oleh DPR periode yang lalu dengan anggaran multiyear 2010-2012 yang sudah disiapkan sebesar Rp 1,8 trilliun. Kami BURT tidak serta merta langsung menyetujui untuk dlakukan tender oleh Sekretariat Jenderal, namun melakukan kajian ulang untuk menekan harga pembangunan yang seefisien mungkin.

Hasil kajian ulang tersebut, yang ditindaklanjuti oleh Tim Perencana, akhirnya disepakati harga final sebesar Rp 1,1 triliun dengan perincian perhitungan: biaya sipil arsitektur Rp 4,6 juta per meter persegi, biaya mekanikal, elektrikal termasuk lift, sistem pemadam kebakaran Rp 2,6 juta per meter persegi. Jadi, total biaya pembangunan Rp 7,2 juta per meter persegi.

Harga tersebut sudah dibandingkan dengan harga bangunan negara lainnya, yaitu Gedung MK yang dibangun tahun 2007 Rp 9 juta per meter persegi, Gedung Kementerian Perdagangan tahun 2006 Rp 8,6 juta per meter persegi, padahal Gedung DPR akan dibangun tahun 2011, dengan harga material bangunan sudah naik lebih dari 30 persen selama masa 5 tahun tersebut.

Di samping persoalan harga yang diisukan mahal, juga digambarkan bahwa Gedung DPR ini mewah. Pandangan tersebut dapat diterima akal dan rasional karena gedung bangunan tinggi pasti secara visual kelihatan sangat mewah, walaupun biayanya relatif lebih murah, apalagi dibangun dengan melebar yang memerlukan tanah yang lebih luas. Pertimbangannya sangat sederhana, karena harga tanah di Senayan sudah mencapai Rp 20 juta per meter persegi, dibandingkan harga bangunan Rp 7,2 juta per meter persegi, sehingga membangun ke atas akan lebih murah daripada melebar yang mempergunakan tanah yang lebih besar.

Pertanyaannya, apakah dengan melaksanakan renstra tersebut kinerja DPR akan membaik?  Berdasarkan pengalaman sebagai profesional selama belasan tahun, yang selalu bekerja berdasarkan perencanaan yang baik, saya meyakini visi DPR menjadi lembaga yang kredibel, insya Allah dapat dicapai.

Pertanyaan berikutnya, apakah tidak lebih baik dana pembangunan DPR Rp 1,1 trilliun tersebut dialihkan untuk hal lain yang berkaitan dengan masyarakat langsung, misalnya bantuan untuk masyarakat miskin, sementara pembangunan Gedung DPR nanti saja. Pertanyaan tersebut rasional, tapi tidak visioner, mengingat DPR setiap tahun membahas anggaran sebesar Rp 1.200 trilliun dan setiap tahun akan meningkat pesat.

Dengan DPR yang kredibel, saya yakin akan dapat ditingkatkan efisiensi alokasi dan pemakaian anggaran minimal 5 persen, artinya setiap tahun akan ada efisiensi dana sebesar Rp 60 triliun atau lebih yang dapat dipergunakan untuk kepentingan rakyat, dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp 1,1 triliun untuk masa 2 tahun (Rp 0,55 triliun per tahun) atau hanya 0,05 persen dari APBN. Semua keputusan tersebut diambil secara bulat oleh BURT yang mewakili semua unsur fraksi di DPR.

Bagi mereka yang mengikuti pembahasan dari awal sampai akhir, akan sangat memahami pemikiran pemikiran tersebut. Namun sayangnya, yang bersuara di media adalah mereka yang tidak pernah mengikuti proses tersebut dan cendrung memolitisasi demi citra politik untuk kepentingan yang sangat egois, padahal langkah tersebut sangat membodohi rakyat.

Sebagai profesional, saya siap mempertanggungjawabkan keputusan BURT tersebut, karena sudah melalui proses yang panjang dan melelahkan dengan perdebatan yang keras, namun batal hanya karena kepentingan citra daripada pertimbangan kinerja.



Ada banyak pandangan yang miring dengan keteguhan kami dalam mempertahankan sikap tentang persoalan gedung ini, sudah kami antisipasi dengan meminta kepada KPK dan BPK untuk secara intens mengawasi pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh Sekretaris Jenderal sebagai kuasa pemegang anggaran.

Bagi saya pribadi, sepanjang sudah bekerja sesuai kapasitas dan kompetensi serta kewenangan yang saya miliki, tidak ada yang perlu disesalkan dengan pembatalan tersebut.  Kompasianer yang peduli dengan masalah ini silakan mengomentari. (Kompas.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya