SOLOPOS.COM - Boiran, 70, warga Desa Ploso, Kecamatan Tegalombo, Pacitan, menggergaji bambu untuk dibuat anyaman kerajinan tangan, Minggu (5/2/2017). (Abdul Jalil/JIBI/Madiunpos.com)

Kisah tragis, seorang pria tanpa kaki asal Pacitan hidup mengandalkan dari hasil kerajinan tangan anyaman bambu.

Madiunpos.com, PACITAN — Keterbatasan fisik tak membuat Boiran, 70, warga Dukuh Weru, Desa Ploso, Kecamatan Tegalombo, Kabupaten Pacitan, putus atas. Boiran tetap bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Saat disambangi Madiunpos.com di rumahnya, Minggu (5/2/2017), Boiran menyokong tubuhnya dan mulai berjalan dengan menggunakan kedua tangannya. Boiran berjalan dengan pelan menggunakan tangan sebagai ganti kedua kakinya yang cacat.

Dengan membawa sebilah gergaji, Boiran menuju ke kebun belakang rumahnya untuk memotong bambu. Dengan berkali-kali gerakan menggergaji bambu itu, akhirnya satu bambu tumbang dan langsung ditarik Boiran menuju tanah yang lapang.

Sebatang bambu yang panjangnya sekitar 10 meter itu langsung dipotong menjadi beberapa bagian supaya lebih mudah dibawa ke rumah. Setelah itu, potongan bambu itu dijemur di depan rumah supaya warnanya berubak kecokelatan dan kering.

Potongan bambu itu menjadi bahan utama untuk membuat sesek, tampah, dan anyaman bambu lainnya. Itu menjadi salah satu pekerjaan Boiran untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Pekerjaan itu tidak setiap hari bisa dikerjakan, karena ia harus menunggu pesanan.

“Kalau tidak ada yang pesan ya tidak membuat sesek. Kalau ada pesanan baru dibuat dan pesanan tidak pasti ada setiap pekan,” ujar dia.

Sesek sepanjang empat meter dijual Rp100.000, sedangkan untuk harga tampah maupuk anyaman bambu lainnya dibanderol seharga Rp3.000/biji hingga Rp5.000/biji. Biasanya ada tengkulak yang membawa hasil kerajinan tangan Boiran itu untuk dijual ke pasar.

Dengan penghasilan yang tidak pasti itu, kata Boiran, ia juga menanam jagung dan ketela di kebun dekat rumahnya. Hasil dari kebun itu biasanya untuk makan dan sebagian dijual.

Dia mengaku ingin bekerja menjadi buruh tani di sawah milik tetangganya. “Saya bisa mencangkul, bertani, dan menanam. Tapi, orang jarang yang mau menggunakan tenaga saya untuk bekerja,” ujar dia.

Meski demikian, terkadang ada orang dermawan yang memberikan bahan makanan kepada dirinya. Selama ini, ia menggantungkan hidup kepada adiknya yang juga hidup dalam kemiskinan.

Rumah yang ia tempati juga jauh dari kata layak huni. Rumah berdinding anyaman bambu itu dihuni lima orang termasuk Boiran. Ada tiga kamar tidur yang ada di rumah itu. Lantai rumah juga masih tanah dan tidak ada tempat mandi cuci kakus.

Adik ipar Boiran, Suparman, 42, merasa kasihan terhadap kakaknya, Boiran karena selama ini ini hidup tanpa kaki dan hidup sendiri. Dengan alasan itu, sejak orang tuanya meninggal dunia Boiran diminta untuk tinggal bersamanya, meski pun dengan kondisi seadanya.

Melihat kondisi fisik Boiran, ia sempat meminta kakaknya itu untuk berhenti bekerja dan diminta untuk bekerja seadanya. Namun, Boiran tetap bekerja berbagai hal hingga beberapa waktu lalu ia jatuh sakit karena kelelahan.

“Kami makan seadanya, karena kondisi keluarga kami juga tidak mampu. Terkadang makan sama gaplek, kadang nasi, lauknya ya cuma sayur yang diambil dari pekarangan rumah,” ujar dia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya