SOLOPOS.COM - Ilustrasi pencabulan anak (JIBI/Solopos/Dok.)

Solopos.com, SUKOHARJO — Sy, 51, warga Nguter, Sukoharjo, yang dituduh mencabuli hingga hamil anak kandungnya, Sn, 17, dinilai harus mendapat hukuman serius. Sementara itu, masyarakat diharap membantu korban—khususnya dalam penyembuhan trauma—dan bukan memarahinya dengan mengusir dari kampung.

Pakar sosiologi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Drajat Tri Kartono saat dihubungi Solopos.com, Minggu (8/6/2014), mengatakan fenomena ayah mencabuli anak kandungnya harus dianggap kejadian luar biasa. Menurutnya hal semacam itu mendapat larangan yang sangat berat dalam masyarakat.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Jadi wajar kalau masyarakat emosi dan melakukan pengucilan atau pengusiran,” kata dosen sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNS Solo itu.

Meski demikian, Drajat Tri Kartono mengakui fenomena semacam itu sebenarnya sudah terjadi sejak dulu kala di berbagai tempat. Salah satu contohnya adalah adanya legenda Tangkuban Perahu yang menceritakan kisah cinta Sangkuriang dengan ibunya.

Ekspedisi Mudik 2024

“Kejadian semacam itu memang masih 1-2. Pada kasus Sy, problem terjadi di keluarga itu. Kecuali kalau hal itu banyak terjadi, ditengarai ada faktor pemicu di masyarakat seperti pornografi atau media yang terlalu vulgar,” paparnya.

Ia menjelaskan, pada beberapa kasus, kadang orang tua merasa terlalu bertanggung jawab kepada anaknya. Hal itu kadang justru membuat anak jadi ruang kekuasaan orang tua.

Meski bukan hal baru dan latar belakangnya terdeteksi, Drajat Tri Kartono menegaskan, tersangka yang merupakan ayah kandung korban harus mendapat hukuman serius. Sedangkan korban harus mendapat penanganan khususnya dalam aspek pemulihan trauma.

“Sosiolog, psikolog dan ahli agama harus turun tangan melakukan terapi bersama kepada korban. Jangan sampai korban menghukum dirinya sendiri atas kejadian itu,” kata dia.

Jangan Marahi Korban

Terkait pro dan kontra pengusiran keluarga, Drajat berpendapat seharusnya masyarakat mengarahkan kemarahan mereka hanya kepada tersangka. Korban dan istri tersangka, menurutnya jangan sampai menjadi sasaran warga. Namun, imbuhnya, korban bisa merasakan efek traumatik karena berada di tengah-tengah masyarakat.

Hal paling bijaksana, menurut Drajat Tri Kartono adalah membuat korban berada dalam lingkungan baru sebagai bagian dari terapi pemulihan mentalnya. “Itu bukan pengusiran. Pasalnya, dia [korban] akan merasa itu aib saat bertemu dengan masyarakat yang mengetahui kejadian itu. Jadi dia harus dibawa ke lingkungan baru untuk pemulihan,” paparnya.

Psikolog asal UNS, Tuti Harjayani, ketika dihubungi Espos, Minggu, menyatakan kebutuhan seksual adalah kebutuhan vital manusia. Biasanya, jika kebutuhan seks tak tercukupi, seseorang akan mencari pemenuhan itu. “Carinya bisa di lingkungannya,” kata dia.

Selanjutnya, Tuti mengaku belum bisa memberi banyak pendapat terkait pencabulan Sy kepada Sn karena dirinya belum mengetahui latar belakang pelaku. Ia juga harus tahu latar belakang keluarga pelaku. “Kondisi semacam itu beda-beda sekali,” ujarnya.

Solopos.com, Minggu (8/6/2014), sudah berupaya menemui Sy yang ditahan di Mapolres Sukoharjo. Namun, Kasatreskrim Polres Sukoharjo, Iptu Fran D Kembaren, mewakili Kapolres Sukoharjo, AKBP Andy Rifai, menyatakan agar Solopos.com menemui Sy, Senin.

“Saya sedang di luar [kantor]. Senin saja [bertemu tersangka],” tulisnya dalam Blackberry Messenger (BBM) kepada Solopos.com, Minggu.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya