SOLOPOS.COM - Sejumlah wali murid lulusan SMPN 1 Solo menyuarakan protes mengenai pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMA/SMK negeri di Kantor DPRD Solo, Senin (19/6/2017). (Farida Trisnaningtyas/JIBI/Solopos)

PPDB 2017, sejumlah wali murid menggelar aksi di Kantor DPRD Solo untuk memprotes batas kuota gakin.

Solopos.com, SOLO — Sejumlah orang tua murid lulusan SMPN 1 Solo mendatangi Kantor DPRD dan menggelar aksi memprotes kebijakan mengenai batas kuota calon siswa dari keluarga miskin (gakin) dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMA/SMK, Senin (19/6/2017).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Salah satu wali murid, Yusuf, mengeluhkan nasib anaknya yang terdepak dari salah satu SMAN favorit karena kalah dari siswa gakin yang punya nilai pas-pasan. Putrinya lulus dari SMPN 1 Solo dengan nilai 35.

Begitu pula dengan wali murid lain, Sasya Supriady, yang anaknya tergeser siswa lain yang menggunakan kuota gakin. Sang anak mendaftar ke salah satu SMAN unggulan dengan nilai 36. Namun, ia kalah oleh siswa yang mendaftar dengan kuota gakin yang nilainya 24.

“Ada anak teman saya yang jelas-jelas keluarga mampu. Mendadak anaknya bisa masuk kategori gakin. Padahal saya pernah ikut membantu menjualkan rumahnya seharga miliaran rupiah. Sistemnya kok seperti ini,” protesnya.

Menanggapi hal tersebut, kalangan legislator siap mengawal keluhan-keluhan yang disampaikan wali murid dari siswa lulusan SMPN 1 Solo itu. Para wali murid itu mendesak PPDB diulang karena merugikan siswa-siswa berprestasi.

Wakil Ketua DPRD Solo, Umar Hasyim, mengatakan turut mencermati kebijakan PPDB online SMA/SMK berdasarkan Peraturan Gubernur No. 9/2017. Poin yang paling disorot adalah tidak adanya batas atas kuota untuk siswa gakin. Inilah yang membuat banyak siswa dengan nilai bagus terdepak oleh siswa gakin yang nilainya pas-pasan.

“Kebijakan mengenai gakin ini memang mengaburkan. Akan tetapi, ini jangan sampai mendiskreditkan masyarakat umum. Kami khawatir nanti di sekolah siswa yang masuk lewat kuota gakin tapi nilainya rendah tidak bisa mengimbangi kegiatan belajar mengajar [KBM] terutama di sekolah favorit,” ungkap Umar.

Menurutnya, sebenarnya ini bukan hanya persoalan pendidikan melainkan juga tingkat perekonomian masyarakat. Semestinya dalam regulasi tersebut disebutkan batas maksimal kuota untuk gakin. Jadi, tidak sekadar ada kuota minimal sebesar 20% per sekolah.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah kelonggaran ini ternyata dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab dengan menyalahgunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Tak sedikit calon siswa yang menggunakan SKTM untuk mendaftar meski mereka berasal dari keluarga mampu. Harus ada verifikasi yang selektif hingga home visit.

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Solo, Asih Sunjoto Putro, juga berpendapat semestinya gakin itu berpatokan pada SK Wali Kota, bukan SKTM yang relatif mudah didapat. Dari keluhan yang dia terima, SKTM ini digunakan sebagai modus untuk menambah nilai.

“Kami mengusulkan pendaftaran siswa gakin secara offline dan ada kuota khusus. Dengan demikian, seleksi ke SMA/SMK menjadi fair,” katanya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya