SOLOPOS.COM - Kegiatan pilah sampah bersama SD Negeri Karangasem 4, Laweyan, Solo di BSU Gajah Putih, Laweyan, beberapa waktu lalu. (Istimewa/IG @_banksampahgajahputih).

Solopos.com, SOLO – Salah satu bank sampah yang cukup eksis di Solo yakni Bank Sampah Gajah Putih di Karangasem, Laweyan, Solo.  Mereka aktif melakukan budi daya maggot meskipun belum sebanyak di Taman Winasis yang dikelola Wiyono.

Maggot basah dijual Rp7.000 per kilogram, sementara maggot kering dijual hingga Rp50.000 per kilogram. Maggot digunakan sebagai pakan unggas dan ikan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pengelola bank sampah tersebut, Sri Basuki, Sabtu (2/4/2023), mengatakan selama ini ia hanya bisa menjual maggot basah karena belum memiliki mesin pengeringnya.

Basuki mengaku membutuhkan modal untuk membeli mesin pengering maggot tersebut, yang nilainya hampir Rp7 juta.  “Saya masih terkendala modal, karena mesinnya seharga Rp7 juta, cukup mahal bagi saya,” kata dia.

Menurutnya, budi daya maggot memiliki peluang yang cukup besar.

Bank sampahnya menerima sampah organik dan anorganik dari masyarakat Karangasem. Sistem bank mereka adalah 80-20 dengan 80% didapat nasabah, 20% didapat pengurus bank sampah Gajah Putih.

Basuki bercerita, ingin anak muda lebih peduli dengan sampah dan upaya mengurangi sampah di masyarakat.

Dia berkaca pada dirinya sendiri yang awalnya merantau ke Karawang dan Surabaya, tetapi akhirnya membantu ayahnya mengurus bank sampah Gajah Putih di Karangasem, Solo. Dia merasa kasihan dengan ayahnya yang sudah tua dan masih mengelola bank sampah itu sendirian.

Kurang Sampah Organik

Di sisi lain, Basuki, mengatakan setiap harinya juga kesulitan mengumpulkan sampah organik.

Saat Solopos.com temui, Sabtu, pria yang kerap disapa Basuki itu mengatakan tidak mudah baginya mendekat ke hotel-hotel di Solo untuk meminta sampah organik mereka.

Setiap kali dia berusaha meminta sampah organik hotel-hotel di Solo, manajemen mengatakan sampah mereka sudah diambil oleh pengepul sampah di tingkat kelurahan maupun pihak pengepul sampah lain.

“Sedih saya kalau ditolak hotel-hotel, mungkin pengepulnya membayar hotel tersebut, kalau begitu `kan saya pasti kalah,” ujar Basuki dengan nada suara yang getir.

Kegelisahannya bertambah karena dia pernah melihat di TPS wilayah Colomadu, Karanganyar, banyak para pengepul membuang sampah organik yang mereka kumpulkan begitu saja.

Cara mereka membuang sampah dengan menyebarnya di TPS itu membuat Basuki sakit hati karena dia sendiri membutuhkan sampah itu.

Menurutnya, mereka cukup egois karena mencari sampah hanya untuk membuangnya, tidak mengolahnya dengan benar. Sementara, Basuki merasa yang dilakukannya dengan bank sampah Gajah Putih memiliki nilai manfaat yang lebih baik untuk lingkungan.

Pria itu juga bercerita saat kekurangan sampah makanan untuk sumber pangan maggot, biasanya mencari ke TPA Putri Cempo.

Di sana, yang dilihatnya membuatnya bersedih karena banyak pengepul sampah menjual sampah makanan diwadahi kaleng cat dan harganya dibanderol Rp15.000 per satu kaleng cat.

Namun, Basuki berhasil mendapatkan sampah makanan dari restoran Boga Bogi karena kedekatannya dengan pemilik restoran tersebut.

Meski begitu, mengumpulkan sampah dari restoran juga perlu langkah teknis yang sulit bagi Basuki. Dia mengaku, jika mendapat dua trash bag sampah dari Boga Bogi, biasanya belum dipilah.

Saat dia pilah sendiri, sampah organik yang dia terima hanya satu kantung trash bag.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya