JAKARTA—Kejelasan terhadap posisi Sultan Ground dan Pakualaman Ground masih menjadi pembahasan pelik untuk mencapai jalan tengah terhadap permasalahan tersebut.
Wakil Ketua Komisi II yang juga anggota Panja RUUK DIY Abdul Hakam Naja mengakui, permasalahan Sultan Ground memang masih menjadi salah satu yang sangat krusial dalam proses pembahasan RUUK DIY.
Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis
Kedua belah pihak, baik pemerintah maupun pihak Keraton belum menemukan titik temu terhadap posisi tanah tersebut. “Memang rumit masalah pertanahan ini,” tegas Hakam di Jakarta, Minggu (4/12).
Hakam yang jarang absen dalam proses pembahasan RUUK DIY itu menegaskan pihak pemerintah mengusulkan agar Keraton dapat memiliki tanah tersebut maka dalam hubungannya Keraton diusulkan menjadi badan hukum. “Ada juga susulan kepemilikan diserahkan secara perseorangan, saya ini cukup riskan dan beresiko tinggi terjadinya konflik horizontal,” tegasnya.
Selain itu perihal tanah keprabon dan non keprabon ada usulan baik dari pemerintah ataupun fraksi-fraksi agar didetailkan dalam RUUK DIY yang tengah dibahas ini, termasuk juga di dalamnya tentang tata ruang. Hal ini maka dapat diartikan tidak mengikuti UU Pokok Agaria yang menjadi acuan perihal pertanahan selama ini di Indonesia.
Mengenai tanah keprabon ini bukan berarti tidak ada kendala bila dimasukkan perihal pengelolaan tata ruangnya. Karena bila hal itu terjadi maka yang menjadi pertanyaan apakah tata ruang yang diluar tanah keprabon akan menjadi kebijakan pemerintah daerah atau pihak keraton.
Mengenai pendafataran tanah keraton, politisi PAN itu juga menjelaskan permasalahannya apakah pihak Keraton wajib mendaftarkannya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) ataukah hal itu menjadi kewajiban BPN untuk mendaftarkannya. “Belum lagi rencana pengukuran Sultan dan Pakulaman Ground oleh BPN yang masih menjadi polemik apakah pihak Keraton menerimanya atau tidak,” tuturnya.(Harian Jogja/Wahyu Kurniawan)