SOLOPOS.COM - Puluhan botol air mineral bekas yang berisi arak jowo disita polisi dari seorang penjul miras di wilayah Ponorogo, Kamis (22/3/2018). (Istimewa/Polres Ponorogo)

Solopos.com, SOLO -- Bali menyusul Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Minahasa Selatan, Sulawesi Utara dalam melegalkan minuman beralkohol tradisional. Minuman beralkohol atau miras tradisional banyak tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

Tidak hanya itu, konsumsi miras tradisional di Indonesia paling tinggi bila dibandingkan dengan minuman beralkohol lainnya seperti bir, wiski, atau anggur. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) disebutkan 38,7% pengonsumsi miras memilih minuman beralkohol tradisional.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Baru menyusul kemudian bir dengan 29,5% dan anggur 21,6%. Sedangkan Wiski hanya 3,8%. Miras oplosan yang selama ini kerap memakan korban jiwa konsumsinya sekitar 3,3%.

Kemenkes membagi dua jenis miras tradisional yaitu keruh dan bening. Keruh artinya 1 gelas minum (200 mililiter) dan bening 1/2 gelas minum (100 ml). Konsumsi miras tradisional keruh mencapai 23,4% dan bening 15,3%.

Data Kemenkes itu menunjukkan popularitas minuman beralkohol tradisional seperti ciu yang terkenal di Jawa Tengah, lapen, arak Bali, sampai sopi di NTT, mengalahkan minuman beralkohol jenis lainnya.

Sulawesi Utara (Sulut) dan NTT berada di urutan teratas untuk prevalensi mengonsumsi minuman beralkohol dalam sebulan terakhir. Di Sulut, 16% penduduk wilayah itu mengonsumsi minuman keras dalam sebulan terakhir. Sedangkan NTT adalah 15,6%, dan di urutan ketiga ada Bali dengan 14%.

Konsumsi minuman beralkohol tradisional di Sulut dan NTT juga tergolong tinggi. Jenis minuman beralkohol yang paling sering dikonsumsi di Sulut adalah tradisional bening mencapai 65,1% dan tradisional keruh 5,2%. Sedangkan di NTT, tradisional bening mencapai 49% dan keruh 24,8%.

Peneliti Center for Indonesia Policy Mercyta Jorsvinna mengatakan melegalkan minuman beralkohol lebih rasional ketimbang melarangnya. Saat minuman beralkohol menjadi legal, pemerintah memberikan bentuk komitmen untuk mengatur peredaran dan konsumsi. Sehingga, angka kematian akibat mengonsumsi minuman oplosan bisa menjadi tanggung jawab pemerintah.

Tri Rini Puji Lestari dari Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR dalam kajian berjudul Menyoal Pengaturan Konsumsi Minuman Beralkohol di Indonesia sebagaimana dikutip dari laman dpr.go.id, beberapa waktu lalu, menyebut minuman beralkohol tradisional sering kali dikonsumsi sebagai bagian dari upacara dan ritual dalam adat budaya, kebiasaan turun-temurun.

Kadang menjadi minuman utama untuk menjaga stamina atau sebagai salah satu daya tarik wisata bagi wisatawan di kawasan pariwisata. Dia mengatakan pengaturan yang spesifik dan komprehensif terkait konsumsi minuman beralkohol hingga saat ini belum ada.

Pengaturan yang ada saat ini, masih tersebar di beberapa tingkat peraturan perundang-undangan dan muatan pengaturannya juga masih sektoral. Antara lain terkait dengan investasi industri, izin usaha, minuman beralkohol, pengenaan cukai, tindak kriminal sebagai efek dari mengonsumsi minuman beralkohol.

"Pengaturan ke depan harus lebih difokuskan pada upaya perlindungan masyarakat dari efek negatif konsumsi minuman beralkohol. Untuk itu, pengaturannya perlu dilakukan secara tegas, spesifik, dan komprehensif dengan memerhatikan beberapa faktor di antaranya mencakup: produk, peredaran dan konsumsi, rehabilitasi, peran serta masyarakat, serta komitmen dari pemerintah,” sebut dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya