SOLOPOS.COM - M Kholid Asyadulloh, Alumnus Ponpes Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo Pemred Majalah Matan PW Muhammadiyah Jatim (FOTO/Istimewa)

M Kholid Asyadulloh, Alumnus Ponpes Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo Pemred Majalah Matan PW Muhammadiyah Jatim (FOTO/Istimewa)

Pada 10 Maret besok, Pondok Pesantren Al Mukmin yang berlokasi di Dusun Ngruki, Cemani, Grogol, Sukoharjo, genap berumur 40 tahun. Didirikan pada 1972 oleh enam serangkai, Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba’asyir, Yoyok Rosywadi, Abdullah Baradja, Abdul Qohar H Daeng Matase dan Hasan Basri, Ngruki banyak merasakan asam garam perjuangan. Tidak terkecuali dalam menghiasi dan meramaikan peta pemikiran Islam di Indonesia.
Banyak kalangan yang menyebut pesantren yang awal berdirinya berlokasi di Jl Gading Kidul 72A Solo ini sebagai salah satu pusat fundamentalisme di Indonesia. Penilaian ini tentu tak sepenuhnya salah karena pengajaran Islam di Ngruki yang sesungguhnya hanya dasar untuk dikembangkan lebih lanjut membuat tak sedikit eksponennya terasa puas. Implikasi selanjutnya ada yang memandang sejarah secara linier dan lurus sehingga perubahan yang tidak sesuai ”keyakinannya” dianggap sebagai ancaman.
Memakai kacamata Azyumardi Azra (1993) tentang empat prinsip fundamentalisme: oposisionalisme serta penolakan terhadap hermeneutik, pluralisme, serta perkembangan historis-sosiologis, Ngruki memang punya semuanya, meski tidak klop betul. Prinsip oposisionalisme menyatakan segala sesuatu yang dianggap mengancam agama (seperti sekularisme dan pluralisme) harus dilawan.
Prinsip selanjutnya mengharuskan pembacaan teks agama dilakukan secara skriptual-tekstual serta menganggap pluralisme menyimpang dari agama. Sedangkan prinsip terakhir menganggap perkembangan masyarakat yang didasari rasio, akal, maupun logos, akan menghantarkan manusia teralienasi dari agama.
Tidak berbeda dengan pesantren lain yang mengadopsi sistem klasikal, Ngruki juga menyelenggarakan beberapa unit pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi. Meski menyelenggarakan pendidikan secara berjenjang, Ngruki juga memakai sistem bandongan setiap sesudah Salat Maghrib dan Subuh. Kurikulum yang digunakan mayoritas mata pelajaran (70%) di unit MTs dan MA adalah nonkeagamaan. Hanya 30% yang bermuatan lokal keagamaan.
Yang mungkin agak ”membedakan” Ngruki dengan pesantren lain adalah keberadaan tema jihad (fisik) dalam mata pelajaran akidah di kelas I MTs atau yang sederajat. Secara kebetulan pula, buku pegangannya adalah karya dua sosok pemberi corak khusus Ngruki, Ustaz Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, yang dikodifikasikan pada periode ”kegelapan”, yaitu masa Ngruki mengalami tindakan intimidatif-represif rezim Orde Baru yang memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal.
Fundamentalisme Ngruki berbanding lurus dengan tekanan yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Kondisi ini tak jarang memunculkan penilaian demonologis dengan menganggap pihaknya sebagai kelompok paling islami sambil menganggap pihak lain tidak islami. Tentunya dibarengi dengan pencarian rujukan teologis, kendati harus masuk wilayah ”pertempuran” untuk memenangkan tafsir. Keadaan semakin runyam ketika perbedaan itu bersenyawa dengan urusan politik sehingga perselisihan menjadi kian keras dan rumit.
Bagi para penghuni Ngruki, bergesekan dengan pemerintah bukanlah hal yang asing, bahkan (pernah) berimbas pada ”haramnya” menghormat bendera merah putih. Sikap nonkooperatif yang dimiliki oleh alumni Ngruki inilah yang mungkin dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk terlibat dalam gerakan-gerakan terorisme. Apalagi terorisme bukanlah gejala lokal saja, melainkan gejala global yang berkaitan dengan struktur ekonomi dan politik yang didominasi negara-negara maju (Juwono Sudarsono: 2006).
Pembentukan pola pikir fundamentalis semakin nyaman karena Ngruki mengamalkan filosofi ikan laut yang tidak terpengaruh oleh tingkat keasinanan air laut. Ngruki cenderung menutup diri dari informasi umum dari luar, seperti televisi, radio dan surat kabar, kecuali beberapa yang telah ”disensor”. Perpustakaan yang tersedia juga hanya menyediakan buku-buku sejenis dan sevisi sehingga tidak banyak memberikan alternatif bagi santri untuk memilih.
Nuansa ”keras” juga terlihat dalam pembelajaran bandongan karena kitab yang dikaji kebanyakan ”karya” yang lahir pada era kolonialisasi Eropa. Karakter fundamentalis semakin klop dengan eksisnya metode ceramah yang cenderung dogmatis dan hitam-putih, tanpa memberikan alternatif pilihan lain. Di antara kitab itu adalah Tarbiyah Jihadiyah, Jundullah, Ma’alim fi al-Thariq, Al-Wala’ wa al-Bara’ dan lain-lain. Tidak heran jika Ngruki akrab dengan pemikiran semacam Fathi Yakan, Sayyid Qutb, Hassan al-Banna, Said Salim al-Qahthani, Ibn Taimiyyah, Abdullah Azzam dan sejenisnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kontekstual
Dalam perspektif teoritis, fundamentalisme memang tidak semuanya identik dengan kekerasan, termasuk penyandingannya dengan kelompok agama tertentu. Kalau fundamentalisme sekadar dalam tataran filosofis dan pemahaman, tentu tidak menjadi masalah karena tidak mengakibatkan kerusakan peradaban manusia. Namun, ketika sudah berubah dalam sebuah praksis yang bermetamorfosis dalam tindakan yang anarkis, sudah tentu harus dihindari, bahkan dilenyapkan.
Sebagai bagian penafsir agama, sudah saatnya stakeholders Ngruki mulai mereinterpretasikan pemahaman keislaman secara lebih kontekstual. Meminjam istilah Fazlurrahman (1993), model keberagamaan yang harus ditempuh adalah proses yang dilalui lewat partnership antara Tuhan dan manusia dalam menulis sejarah (partnership of God and man in history). Model keberagaman yang dibangun haruslah berdasarkan pada dialog antara agama dengan peradaban yang ada sehingga eksistensinya tidak tercerabut dari akar sejarah.
Harus selalu digalakkan upaya menggali dan mengkaji universalitas ajaran Islam. Islam, apalagi pemahaman ulama terdahulu tentang Islam, sebagai agama haruslah dipandang dan diletakkan sebagai sebuah ”teks” yang terbuka untuk selalu direproduksi sesuai horizon pembaca. Pembaca yang notabene mempunyai kearifan lokal, tentu mempunyai cara beragam dalam mengimplementasikan keberislaman. Yang jelas, ekspresi keagamaan seharusnya ditempatkan dalam wilayah seimbang (tawassut) dan tengah-tengah (i’tidal), bukan kekerasan (tathorruf) apalagi teror (irhab).
Menyadari beratnya upaya mengubah citra negatif ini, tentu Ponpes Ngruki tidak mungkin bisa melakukannya sendiri. Simbiosis yang mutualis antara Ngruki, aparat dan masyarakat lainnya merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar. Keterbukaan pintu dialog untuk membicarakan berbagai soal kemanusiaan sangat mungkin mampu mengurangi pemahaman fundamentalistik dengan lebih memperhatikan konteks yang menyejarah. Allah a’lam bi al-shawab.

Ekspedisi Mudik 2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya