SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Apakah Sisifus bahagia dalam keterkutukannya? Sisifus atau Sisyphus adalah raja yang sangat terkenal dalam mitologi Yunani. Ia salah seorang dari dua putra Aeolus, Raja Thessalia. Sisifus adalah pribadi yang licik. Sangat mencintai kehidupan dengan segala gebyar kemewahannya.

Begitu cinta pada kehidupan, Sisifus mencurangi kematian dan membohongi dewa-dewa. Raja para dewa, Zeus, sangat murka melihat tingkah polah Sisifus. Zeus mengutuk dan menghukum Sisifus.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Hukuman untuk Sisifus adalah menggulingkan batu besar dari kaki gunung hingga ke puncak gunung. Begitu batu besar itu nyaris mencapai puncak gunung, segera saja terguling dan menggelinding ke kaki gunung.

Sisifus harus turun ke kaki gunung. Menggulingkan batu besar itu lagi menuju puncak gunung. Begitu seterusnya. Selamanya. Itu sebentuk hukuman yang tidak berguna. Dalam perspektif kemodernan, itu hukuman yang penuh kesia-siaan. Hukuman yang tanpa harapan.

Filsuf asal Prancis yang lahir di Aljazair, Albert Camus, dalam buku The Myth of Sisyhpus—salah satu versi terjemahan dalam bahasa Indonesia berjudul Mitos Sisifus yang diterbitkan Circa, cetakan kedua Februari 2021—memandang hukuman bagi Sisifus itu tidak begitu berbeda dengan nasib manusia.

Semua manusia menjalani aktivitas repetitif setiap hari. Dalam perspektif menyamakan dengan Sisifus, repetisi aktivitas itu layak dipertanyakan maknanya. Bukankah melakukan sesuatu yang berulang-ulang tiap hari adalah kesia-siaan? Mengapa tak menggunakan anugerah kreativitas, anugerah nalar, untuk beraktivitas berbeda setiap hari?

Begitulah kenyataannya. Buruh pabrik tiap hari menjalani aktivitas yang sama. Sejak bangun tidur hingga tidur lagi. Selama di pabrik aktivitas yang dijalankan juga sama. Seorang guru atau dosen demikian pula. Menyiapkan rancangan pembelajaran. Bertemu siswa atau mahasiswa.

Menjelaskan materi. Memberikan tugas. Mengoreksi jawaban tugas. Memberikan ujian tengah semester dan akhir semester. Memberikan nilai. Begitu terus, sampai pensiun. Seorang pengemudi ojek online melakukan repetisi aktivitas yang sama tiap hari. Seorang jurnalis tak beda jauh. Mengulang-ulang aktivitas yang sama tiap hari.

Demikian pula manusia dengan profesi, pekerjaan, dan aktivitas lainnya. Ditinjau dari sudut pandang menelaah hukuman Sisifus, pengulangan-pengulangan itu, repetisi itu, tidak bermakna dan sia-sia. Kata Albert Camus: absurd.

Di tengah repetisi itu pasti—cepat atau lambat—akan muncul pertanyaan: mengapa melakukan semua itu jika akhirnya akan mati? Mengapa tidak menyelesaikannya sekarang juga? Albert Camus menolak mentah-mentah bunuh diri sebagai jalan penyelesaian. Ia menolak bunuh diri fisik maupun bunuh diri filosofis. Sebagai langkah menghentikan repetisi absurd itu.

Dia menawarkan jalan pemberontakan. Syarat pemberontakan adalah penerimaan. Sisifus menerima hukuman dari Zeus. Menjalani hukuman itu. Seburuk apa pun hukuman, meski dia harus terus-menerus melihat batu yang dia dorong ke puncak gunung jatuh dan menggelinding lagi ke kaki gunung.

Hukuman absurd itu tidak membuat Sisifus menyerah. Ia tidak berputus asa. Batu besar tetap dia dorong ke puncak gunung, walau nanti menggelinding lagi ke kaki gunung. Ia terus berjuang, terus melawan. Bagian terindah yang dia capai adalah ”semuanya baik-baik saja”. Batu itu miliknya!

Hikmah keabsurdan laku Sisifus adalah seburuk apa pun situasi, sesulit apa pun situasi, seberat apa pun situasi, setiap orang yang menghadapinya tidak boleh patah semangat, tidak boleh berputus asa, harus memberontak.

Suasana Korup

Dalam esai filsafat The Myth of Sisyphus tersebut, Albert Camus menutup dengan satu kalimat one must imagine Sisyphus happy. Kita harus membayangkan (bahwa) Sisifus bahagia. Saya membayangkan ketika tiap manusia, tiap individu, adalah Sisifus, tentu membutuhkan ruang yang cukup demi mencapai kebahagiaan. Demi mencapai bagian terindah ”semuanya baik-baik saja”.

Saya membayangkan ada yang usil. Menipu beberapa anak yang bermain. Mengajak mereka bermain di lintasan batu besar yang menggelinding dari puncak gunung begitu Sisifus yang mendorong batu itu nyaris mencapai puncak gunung.

Begitu batu besar yang lepas dari tangan Sisifus menggelinding, anak-anak itu akan terlindas. Tragedi terjadi. Yang usil itu harus dicegah agar setiap Sisifus menyelesaikan repetisi aktivitas hingga mencapai kebahagiaan. Pada era kiwari, para Sisifus itu niscaya saling bersinggungan lintasan. Mungkin malah bersinggungan batu.

Butuh pengaturan. Kalau bisa ya Zeus yang mengatur. Kalau bukan Zeus sendiri, setidaknya ada dewa yang mendapat mandat mengatur lintasan batu para Sisifus. Wujudnya pada era kiwari adalah politik.

Politik merumuskan kesepakatan, kompromi, regulasi. Perumusan itu melalui proses yang alot dan berliku. Disepakati pula hukuman atau sanksi bagi yang melanggar kesepakatan, kompromi, regulasi, atau aturan tersebut. Siapa yang menjalalankan dan melaksanakan aturan itu?

Lahirlah pendekatan institusional-formalistis. Ada lembaga yang bertugas menjalankan dan memastikan pelaksanaan kesepakatan, kompromi, dan regulasi itu dengan sebaik-baiknya. Terbentuklah masyarakat politik (polity) yang membentuk wilayah politik (polish). Pada era kiwari menjadi negara bangsa (nation-state).

Politik memanifestasi demi mendukung manusia yang selalu ingin memperoleh kehidupan yang lebih baik (the good life). Kehidupan yang membuat manusia hidup seutuhnya sebagai manusia. Kebutuhan dasar terpenuhi. Ada jaminan rasa aman. Bebas menyampaikan ide serta gagasan dan lain sebagainya.

Itu semua membuat hidup lebih berbahagia. Kebahagiaan adalah pencapaian kepuasan puncak yang dirasakan setiap manusia. Politik tentu bertujuan mencapai kebahagiaan itu. Sayangnya, dalam suasana korup yang mewarnai politik hari-hari ini, para Sisifus menjadi lebih sering bersimpangan lintasan dan bertabrakan. Kacau.

Itu terjadi karena banyak yang usil. Mengganggu masing-masing lintasan. Tidak menghormati hak asasi manusia. Contoh paling sederhana adalah persebaran hoaks, fitnah, narasi kebencian, dan sentimen suku, agama, ras, dan golongan yang terus-menerus terjadi.

Menuju pemilihan umum 2024, kaum usil itu makin intensif menjalankan repetisi harian mereka. Pengalaman buruk pada 2014, 2017, dan 2019 tampaknya tak cukup menyadarkan mereka. Sebagai Sisifus, apakah mereka juga berbahagia? Rasanya mereka juga berbahagia, tapi kebahagiaan mereka merusak kebahagiaan yang lain.

Politik—dengan rumusan hukuman dan sanksi—seharusnya menghukum mereka. Sayangnya, politik yang memanisfestasi dalam suasana korup seperti tak berdaya menjalankan fungsi pengaturan. Politik yang seharusnya menjadi jalan bersama mencapai kebahagiaan, malah compang-camping tak berdaya. Absurditas itu memang nyata adanya…



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 12 Oktober 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya