SOLOPOS.COM - Suasana salat ied di Gumuk Pasir Pantai Parangtritis, Kecamatan Kretek, Jumat (17/7/2015). (JIBI/Harian Jogja/Joko Nugroho)

Polemik tanah desa muncul dengan adanya Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 112 Tahun 2014

Harianjogja.com, BANTUL–Sejumlah Pemerintah Desa (Pemdes) kembali mempertanyakan kejelasan status pengelolaan tanah desa di Bantul yang luasannya mencapai 15.525 hektar.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Keberadaan Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 112 Tahun 2014 tak pelak menimbulkan keresahan bagi Pemdes beberapa tahun terakhir. Pasalnya, hingga kini mereka belum juga mendapatkan jaminan bahwa pihak Kasultanan Ngayogyakarta tetap akan memberikan hak kelola bagi desa atas tanah desa itu.

Sesuai Pergub tersebut, dijelaskan bahwa tanah yang semua beratasnamakan desa dialihkan sepenuhnya menjadi milik Kasultanan. Jika tak kunjung diberikan penjaminan hukum, mereka khawatir akan kehilangan hak kelola atas tanah itu.

“Dampak terburuk adalah kami kehilangan pendapatan desa. Padahal pendapatan desa kami lebih dari 50% sendiri berasal dari tanah desa itu,” ungkap Wahyudi Anggoro Hadi, Kepala Desa Panggungharjo Kecamatan Sewon saat dihubungi, Jumat (17/2/2017) sore.

Dijelaskannya, dari total proyeksi pendapatan asli desa (PADes) Panggungharjo tahun 2107 yang mencapai Rp1,4 miliar, sekitar Rp800 juta di antaranya berasal dari tanah-tanah desa itu. Itulah sebabnya, ia sangat berharap pihak Kesultanan bisa bersikap bijaksana dalam memperlakukan Pergub tersebut.

Kekhawatiran itu, tambah Wahyudi, disebabkan upaya privatisasi yang dilakukan oleh pihak Keraton. Jika pengambilalihan itu dilakukan oleh Pemerintah DIY, penjaminan atas pengawasan pengelolaan tanah itu menjadi jelas.

“Tapi kalau diambil alih Kesultanan, kan menjadi tak jelas. Pasalnya, Kesultanan itu adalah lembaga privat, bukan lembaga publik,” terangnya.

Senada, Kepala Desa Selopamioro Himawan Sadjati pun berharap meski hak milik tanah desa itu nantinya akan diambil alih oleh pihak Keraton, ia tetap berharap pengelolaan tetap ada di pihak pemerintah desa. Menurutnya, dengan dikelola desa, tanah itu bisa memberikan manfaat besar bagi kemakmuran masyarakat.

Begitu pula terkait dengan tanah berstatus Sultan Ground (SG). Diakuinya tanah SG di Selopamioro saat ini mencapai sekitar 500 hektare lebih. Tanah yang kini masih berupa hutan, pekarangan, dan lahan sawah tadah hujan yang berlokasi di lereng-lereng perbukitan itu diharapkannya kelak pun bisa dikelola oleh pihak Pemdes. “Kalau dibolehkan, sih. Kalau tidak boleh, ya kami manut saja,” katanya.

Terkait hal itu,  Kepala Bagian Pemdes Setda Bantul Danang Erwanto menegaskan, pihak desa seharusnya tak perlu resah terhadap Pergub tersebut. Ditegaskannya, sejak awal pihak Badan Pertanahan Nasional  sudah memilah-milah mana yang termasuk tanah desa dan mana yang termasuk tanah SG.

Ia pun yakin inventarisasi yang dilakukan pihak Keraton tak akan menyimpang dari data BPN tersebut. “Desa seharusnya tak usah gelisah. Toh nanti saat inventarisasi, desa juga bakal dilibatkan,” katanya saat ditemui terpisah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya