SOLOPOS.COM - Foto tindak anarkis penyerangan terhadap driver Go-Jek dalam demo angkutan umum di Jakarta, Selasa (22/3/2016). (Twitter.com/@ernestprakasa)

Polemik taksi konvensional versus taksi berbasis aplikasi online menjadi topik hangat publik.

Solopos.com, SOLO — Polemik panas yang terjadi antara pengemudi taksi konvensional dan taksi berbasis aplikasi online, menuai tanggapan dari Guru Besar bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia UI, Rhenald Kasali. Menurutnya, sudah menjadi tugas Pemerintah RI menata regulasi angkutan umum, sehingga tidak menimbulkan keresahan di antara pengemudinya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pendapat-pendapat Rhenald ini ia tuangkan dalam 30 kicauan di akun Twitter-nya, @Rhenald_Kasali, Rabu (23/3/2016). Tanggapan ini dimunculkan olehnya, seusai terjadi demo ratusan pengemudi angkutan umum konvensional di Jakarta, Selasa (22/3/2016) kemarin.

“Ribut-ribut soal taxi, tugas pemerintah bukanlah lagi memikirkan pengusahanya. Pikirkan yg utama, yi KESEJAHTERAAN para SOPIR (1),” tulis akun Rhenald Kasali, @Rhenald_Kasali.

Pendiri Rumah Perubahan sekaligus Ketua Umum Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia tersebut memberikan pandangan, perlu adanya pengecekan terhadap sistem untuk pengemudi angkutan umum konvensional.

“[2] Kl ada yg ngotot bahwa sistem yg lama  sudah bagus, tanyakanlah, apakah mrk pernah lihat bagaimana nasib khidupan para sopir slm ini. [3] Apakah para pengemudi sdh punya rumah,  jam kerja yg layak,  pendapatan yg cukup utk menyekolahkan anak2nya smp perguruan tinggi?. [4] Apakah benar sistem yg lama itu sdh benar2 baik dan UU nya sudah sempurna? sdh menjamin distribusi pendapatan yg adil? Come on! [5] berikanlah nafas kehidupan yg segar pada mereka yg bergulat di lapangan agar mrk bs menikmati kemerdekaan dgn baik,” tulis Rhenald.

Melalui tulisan Rhenald, ia mengimbau pemerintah untuk menilik lagi peraturan transportasi yang berkenaan dengan angkutan publik. Apakah benar sistem yang ada saat ini telah cukup mumpuni menjamin kesejahteraan para pengemudi angkutan umum baik konvensional atau modern, secara merata? [Baca juga: Ernest Prakasa: Waktumu Habis Blue Bird!]

“[6] Apa benar masih kita butuhkan SIM yg berbeda utk menjadi pengemudi kendaraan umum atau cukup mobilnya sj yg di daftar dan KIR. [7] Cek kembali pajak-pajak yg dipungut, apakah tak sebaiknya dikurangi dan didistribusikan utk pengemudi? [8] Coba list pajak-pajak yg dibayar, PPH badan usaha, PPH perorangan, PPN, pajak BPKB, masih hrs bayar KIR, dll. [9] Harusnya ada perhatian pemerintah krn tanpa taxi, tak ada peradapan kota besar. [10] Krn pajaknya sdh bnyk yg dipungut dari dunia transportasi, baiknya negara beri perumahan dan fasilitas publik yg ringan utk mereka. [11] Taxi online adlh keniscayaan. Aplikasi sulit dibendung. Tp negara bs mengatur dgn bijak. Kl diberi aturan yg baik, Insha Allah patuh,” lanjutnya. [Baca juga: Sopir Taksi Demo, Netizen Tebar Meme “Angry Blue Bird”]

Rhenald juga menjelaskan perbedaan pandangan antara generasi era kovensional dan generasi digital, yang ia sebut sebagai generasi millenials.

“[12] Masalahnya, kedua sosok ini dari wujudnya memang berbeda. Penanganannya tak bisa 100% disamakan, wl ada kesamaan. [13] Cara pandang generasi millenials ttg keamaan penggunaan amat berbeda dgn generasi tua. [14] Bagi generasi tua, keamanan itu hak pemerintah. Bagi Gen milenials, keamanan itu fungsi dari komunitas. Internet community. [15] Perdebatan ttg trust & safety sdh lama jd pembicaraan, sejak manusia mengenal computer chips. Sejak kartu kredit beredar. [16] apakah kartu kredit aman? Tidak 100%. Apakah kita jadi tdk pakai? Tidak juga. Ttp bgitu ada fraud, komunitasnya berjuang bersama2,” jelas Rhenald.

“[17] Komuniats di dunia maya adalah istilah baru bagi orangtua dan policy makers yg gaptek, tapi menjadi jargon penting dom sharing economy. [18] Anda yg berada di dunia maya sudah payah membangun komuniats. Di sini saja sy sesekali memblok mereka yg tdk dlm standar komunitas kita. [19] Bukan krn pendapatnya yg berbeda dgn kami yg kami blok, melainkan krn ada tendensi pemain bayaran, anon, haters dst. [20] dalam dunia bisnis online para pelaju usaha juga men-sharing kan opini dan mengeluarkan pelanggan atau sopir yg di luar standard,” lanjut Rhenald.

“[21] Anda naik Grab atau Gojek, kl tak puas bisa kasih evaluasi. Kl mrk buruk ratingnya jeblok maka dapat dikeluarkan oleh komunitasnya. [22] Anda pesan pijtk dari go massage dan anda bandel, tdk bayar atau mengganggu pemijat, mrk juga bisa memblack list anda dan dikeluarkan. [23] Mereka punya dunianya sendiri dgn cara yg tersimpan dalam big data, direct marketing, low cost, peer to peer. [24] Aturan peer to peer business, collaborative dan sharing economy ini blm ada. Tugas negara adalah menata dan menyediakan aturannya,” jelas Rhenald.

“[25] Menyamakan dengan pelaku yg konvensional tentu tak bijak, blm bs menjawab tuntutan zaman. [26] Tetapi aturan lama banyak yg hrs disesuaikan, disederhanakan. Buat satu atap, biarkan rakyat menikmati fasilitas yg nyaman  terjangkau. [27] Sharing economy itu akan menjadi baik bagi perekonomian kita. Segala yg menganggur kini bs kita buat produktif, lebih fair, lbh Shariah. [28] Sharing Economy itu mengurangi keserakahan manusia yg ingin menguasai semuanya sendiri. Saatnya ekonomi berbagi,” papar Rhenald.

Terakhir, Rhenald mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi dengan pihak-pihak yang reaktif terhadap masalah regulasi angkutan umum ini.

“[29] Sudah jangan mudah diprovokasi…jafilah pelanggan yg murah hati. Hormati  yg sdg mengais rezeki. Bayangkan sj mrk adalah keluarga kita. [39] dan cintailah mereka yg mau berusaha dengan baik, jujur dan bekerja keras…hidup itu memang butuh perjuangan..hv a good day,” tutup Rhenald.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya