SOLOPOS.COM - Aksi damai dokter di Alun-alun Klaten, Rabu (27/11/2013). (JIBI/Solopos/Shoqib Angriawan)

Polemik sponsorship kedokteran tak membuat Kemenkes goyah menyebut hal itu tak melanggar hukum.

Solopos.com, JAKARTA — Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersikukuh pemberian sponsorship terhadap institusi kedokteran bukan tindakan yang melanggar hukum. Mereka beralasan kerja sama saling menguntungkan tersebut sangat berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan, terutama bagi seorang dokter.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Perusahaan farmasi juga kan mempunyai kewajiban sosial melalui corporate sosial responbility [CSR], sponshorship itu bagian dari CSR untuk mengembangkan dunia kedokteran,” ujar Irjen Kemenkes, Purwadi, di Jakarta, Jumat (5/2/2016).

Dia juga menolak jika proses pemberantasan gratifikasi yang sedang dirintis dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap setengah hati. Indikasinya yakni masih diperbolehkannya praktik pemberian kerja sama saling menguntungkan (sponsorship) meski diwakilkan ke institusi.

Ekspedisi Mudik 2024

Namun demikian, Purwadi tak bisa menjelaskan secara lebih detail terkait dasar hukum pemberian CSR tersebut. Dia hanya mengutip salah satu poin dalam kode etik profesi kedokteran yang mengatur tentang pemberian kerja sama saling menguntungkan tersebut.

Pendapat dari Purwadi tersebut bertentangan dengan penjelasan Pasal 12B Ayat 1 UU No. 31/1999 Juncto UU No. 20/2001. Dalam pasal tersebut disebutkan semua bentuk pemberian berupa barang, uang, komisi, diskon, hingga fasilitas-fasilitas lainnya termasuk dalam kategori gratifikasi.

Selain alasan tersebut, dia juga bersikukuh bahwa pemberian kerja sama saling menguntungkan tersebut juga terkait dengan beban finansial yang harus ditanggung seorang dokter. “Dokter paling tidak harus mengumpulkan 250 poin dalam 5 tahun. Satu seminar mereka hanya mendapat 5 poin, berarti dalam 5 tahun mereka harus mengikuti 50 kali seminar. Sedangkan satu kali seminar mereka harus mengeluarkan uang sebesar Rp3 juta,” jelasnya.

Beban tersebut tidak didukung dengan kemampuan negara untuk membiayai pengambangan Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang kedokteran. Dia menambahkan, anggaran Kemenkes dari APBN senilai Rp63,481 triliun. Sekitar 10% dari anggaran tersebut yakni kurang lebih Rp6,05 triliun digunakan untuk pengambangan masyarakat.

“Kalau digunakan untuk membiayai pengembangan SDM tersebut tentu APBN tidak cukup,” kata dia.

Dengan dalih tersebut, KPK dan Kemenkes kemudian memutuskan untuk tetap melakukan kerja sama saling menguntungkan tersebut. Meski ada catatan yaitu bukan dilakukan antara farmasi dengan individu, melainkan dialihkan ke institusi kedokteran.

Namun demikian, keputusan tersebut juga tidak berdasar. Sebab, berdasarkan pernyataan dari Purwadi, dia belum menginvestigasi praktik gratifikas tersebut, serta survei penghasilan rata-rata dokter di Indonesia. “Belum pernah saya lalukan itu,” katanya.

Sementara itu, Fadli Nasution ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia Kamis (4/2) kemarin menyampaikan, salah satu fungsi KPK adalah pencegahan tindak pidana korupsi.

Adanya indikasi atau modus berupa pemberian hadiah, bonus atau sejumlah fasilitas kepada dokter dari perusahaan farmasi, agar menggunakan obat-obatannya merupakan bentuk gratifikasi terselubung yang perlu dicegah oleh KPK.

Dengan begitu agar tidak terjadi monopoli atau dominasi terhadap produk perusahaan farmasi tertentu. Jenis dan merek obat yang digunakan para dokter harus diserahkan pada mekanisme pasar yang bersaing secara sehat sesuai dengan kualitas dan kebutuhan pasien.

Sebelumnya, Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Kencana menganggap, praktik kerjasama saling menguntungkan berupa pemberian dana seminar yang disalurkan melalui rumah sakit dan organisasi profesi bukanlah sesuatu yang dilarang.

Pahala mengkalim, mekanisme seperti itu tidak akan menimbulkan konflik kepentingan antara dokter dengan institusi rumah sakit atau organisasi profesinya.

Namun demikian, kesehatan KPK dan Kemenkes tersebut justru bertentangan dengan Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan Kedeputian Pencegahan KPK pada tahun 2012 tidak ada sedikitpun penjelasan yang membedakan gratifikasi yang diberikan kepada perorangan dengan institusi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya