SOLOPOS.COM - Ilustrasi pemungutan suara pilkada (JIBI/Harian Jogja/Dok.)

 

Harianjogja.com, PURWOKERTO — Guru besar Ilmu Hukum Pemerintahan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, Muhammad Fauzan mengatakan masalah pemilihan kepala daerah (pilkada) seharusnya dipikirkan secara komprehensif.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Mestinya konsep berpikir para legislator harus komprehensif, jangan parsial dan pragmatis. Ini kesannya karena di pilpres (pemilihan presiden) itu kalah, maka dia berusaha untuk menang di tataran pemilihan kepala daerah,” katanya di Purwokerto, Sabtu (13/9/2014).

Fauzan mengatakan hal itu kepada Antara terkait polemik Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang rencananya akan disahkan oleh DPR pada 25 September 2014 dimana dalam RUU Pilkada, kepala daerah berpeluang dipilih oleh DPRD.

Menurut dia, jika para legislator berpikir secara komprehensif untuk membangun sistem ketatanegaraan ke depan yang lebih baik, sebaiknya otonomi hanya di tingkat provinsi.

Dalam hal ini, pemilihan kepala daerah hanya dilakukan di tingkat provinsi untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, sedangkan bupati/wali kota sebagai perangkat administratif sehingga tidak perlu melalui proses pemilihan.

“Yang namanya bupati, wali kota, dan DPRD kabupaten/kota tidak perlu ada. Bupati atau wali kota itu menjadi perangkat administrasi saja. Contohnya DKI Jakarta, otonomi di provinsi bisa berjalan, kabupaten ada di Kepulauan Seribu yang merupakan kabupaten administratif, wali kotanya wali kota administratif, bisa jalan kan,” katanya.

Kendati demikian, dia mengatakan bahwa model otonomi seperti yang dilaksanakan di DKI Jakarta perlu dipikirkan secara komprehensif.

“Artinya, ketika DPRD kabupaten/kota ditiadakan, bagaimana cara masyarakat menyalurkan aspirasi, bagaimana cara masyarakat mengontrol pemerintah, itu yang harus kita pikirkan ke depan. Jadi kalau kita mau berpikir secara komprehensif ke depan, berpikirlah mulai dari sekarang, bukan karena kepentingan sesaat,” jelasnya.

Ia mengatakan bahwa musyawarah mufakat memang menjadi dasar atau pijakan demokrasi yang dianut bangsa Indonesia.

“Akan tetapi bagaimana agar permusyawaratan itu tidak menghilangkan atau mengurangi kualitas demokrasi itu sendiri,” katanya.

Menurut dia, polemik yang muncul dalam RUU Pilkada merupakan persoalan politik dan persoalan pembuat undang-undang yang ingin membuat sistem entah seperti apa.

Lebih lanjut, Fauzan mengatakan jika ke depan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, harus dipikirkan pula proses perekrutan anggota DPRD-nya.

“Kalau proses perekrutan anggota DPRD masih seperti tahun 2009, yang berbicara itu adalah uang, ya apa artinya. Coba anggota dewan sekarang, berapa duit yang harus dihamburkan,” katanya.

Ia mengatakan jika mekanisme perekrutan anggota DPRD masih seperti itu, tidak akan ada perubahan yang signifikan.

Dengan demikian, kata dia, kekhawatiran terhadap anggota DPRD menjadi broker kembali akan muncul karena orang-orang yang menjadi legislator itu adalah orang-orang yang permisif menggunakan uang.

“Eksploitasi uang dalam pilkada itukan kentara sekali,” jelasnya.

Kendati demikian, kata Fauzan, jika sekarang suasana “kebatinan” untuk pemilihan langsung masih mengemuka, sebaiknya dipikirkan cara agar sistem pemilihan langsung itu tidak mengakibatkan ekonomi biaya tinggi maupun tingkat kerawanan keamanan menjadi terbuka.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya