SOLOPOS.COM - GREBEG SUDIRO (JIBI/SOLOPOS/Dok)

Solopos.com, SOLO—Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China menjadi tonggak awal kebebasan berserikat dan berkumpul masyarakat Tionghoa.

Salah satu dampaknya adalah dengan dilaksanakannya kembali perayaan Tahun Baru Imlek. Adanya perayaan tersebut tentunya semakin memperkuat identitas budaya masyarakat Tionghoa. Perayaan Tahun Baru Imlek juga memperkuat upaya masyarakat China berbaur dengan pribumi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tahun Baru Imlek memiliki makna lebih bagi masyarakat Tionghoa yang tinggal di Solo, khususnya di kawasan Sudiroprajan. Mereka menyelenggarakan tradisi Grebeg Sudiro yang merupakan upaya masyarakat Tionghoa agar diterima dan dapat berbaur dengan masyarakat lokal.

Perayaan Imlek yang dibalut dalam nuansa Jawa ini diciptakan Oei Bengki, Sarjono Lelono Putro, dan rekannya Kamajaya pada 2007. Tujuan kegiatan itu selain untuk merayakan Tahun Baru Imlek, juga sebagai implementasi kerukunan dan toleransi masyarakat lokal dengan etnis Tionghoa yang hidup berdampingan secara harmonis.

Istilah Grebeg Sudiro berasal dari kata Grebeg yang dalam bahasa Jawa artinya perkumpulan. Selanjutnya, Sudiro merupakan kependekan dari Sudiroprajan.
Sudiroprajan merupakan tempat terciptanya tradisi Grebeg Sudiro tersebut. Dengan demikian Grebeg Sudiro adalah tradisi hasil perkumpulan warga Sudiroprajan.

Keselarasan dan harmonisasi dari keberagaman budaya antara Jawa dan Tionghoa diperlihatkan melalui komunikasi antarbudaya yang ditandai kebudayaan Jawa dan Tionghoa secara langsung. Kondisi tersebut menghasilkan asimilasi dan akulturasi budaya. Asimilasi dan akulturasi tersebut dapat terlihat dari serangkaian acara yang dilaksanakan dalam harmoni nuansa hangat Jawa dan megahnya kebudayaan Tionghoa. Aspek yang menjadi representasi konkret diperlihatkan dari kemajemukan prosesi tradisi Grebeg Sudiro yang sekaligus menjadi simbol komunikasi.

Simbol komunikasi yang dimaksud berupa gunungan, kodang karya seni, pawai kesenian, dan tematik tahunan. Pelaksanaan tradisi Grebeg Sudiro pada 2007 lalu juga menjadi gambaran bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya semboyan. Hal ini secara kuat ditegaskan masyarakat kota Solo dengan pemilihan tema dari tahun ke tahun yang mengangkat dan mengutamakan harmonisasi pluralitas masyarakat dan toleransinya.

Saya mencoba mengumpulkan tema selama 10 tahun terakhir yang mengusung aspek harmonisasi dalam keberagaman. Mengutip artikel berjudul Makna Simbolik Komunikasi Antarbudaya pada Perayaan Grebeg Sudiro di Kota Solo dalam Jurnal Pewarta Indonesia Vol I, No. I, 2019, tema gerebek pada 2010 adalah Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh.

Selanjutnya, pada 2011, temanya adalah Kebhinekaan Dalam Kebersamaan; 2012 adalah Guyub Rukun Agawe Santosa. Sudiro Kampung Kebhinekaan, Bersatu Dalam Keberagaman; 2013 Merangkai Kebhinekaan, Perkokoh Kesatuan; dan 2014 adalah Melukis Indonesia Bernapas Bhinneka Tunggal Ika.
Selanjutnya, pada 2015, temanya adalah Manunggaling Budhaya Nguri-uri Luhuring Bangsa, 2016 Harmoni Dalam Ke-Bhinnekaan; 2017 Pesona Budaya dalam Warna Kebhinnekaan; dan 2018 adalah Melestarikan Budaya Bangsa untuk Merajut Kebhinnekaan.

Pada 2019, tema gerebek adalah Persatuan dalam Keragaman; sementara pada 2020 adalah Bersinergi Merawat Kebhinnekaan. Terangkatnya tema kebinekaan menjadi representasi kaum Tionghoa yang merangkul semua kalangan dari segala ras, usia, maupun golongan. Warga berharap segala golongan dapat berbaur dan berinteraksi tanpa adanya hambatan serta praktik diskriminasi.

Adaptasi Budaya

Melihat tradisi Grebeg Sudiro ini, saya juga melihat keterbukaan partisipan yang tidak dibatasi. Dengan demikian, partisipan yang bukan merupakan penduduk setempat dipersilakan turut meramaikan tradisi Grebeg Sudiro. Gunungan menjadi salah satu ikon populer sekaligus hal yang tidak bisa ditemukan dalam perayaan lainnya. Gunungan yang terdiri atas gunungan sedekah bumi dan kue keranjang dipersiapkan dalam balutan kebudayaan Jawa dan Tionghoa tanpa meninggalkan kesakralan dan makna kedua budaya.

Dipersembahkannya hasil bumi berupa sayur, buah, serta makanan setempat menjadi simbol rasa syukur kepada Tuhan. Keanekaragaman hasil bumi sekaligus menjadi interpretasi keberagaman kalangan masyarakat yang hidup dan berserikat di Solo dengan selaras. Bersamaan dengan gunungan hasil bumi, kue keranjang yang melambangkan kemakmuran juga turut diperebutkan dalam upacara Grebeg Sudiro. Kue keranjang dibagikan dengan harapan peningkatan diri dari tahun ke tahun. Makna ini bersinambungan dengan penyusunan dalam adat Jawa (semakin lama, semakin tinggi). Hal ini bisa disimpulkan sebagai salah satu tanda keterbukaan budaya-budaya di Indonesia yang berakulturasi.

Grebeg Sudiro adalah tradisi yang sangat mengapresiasi keterbukaan terhadap berbagai keberagaman di masyarakat yang diperlihatkan melalui pawai kesenian. Beragam kesenian itu seperti barongsai, Reog Ponorogo, tarian tradisional, pakaian tradisional, adat Keraton sampai kesenian kontemporer yang turut memeriahkan pawai kesenian.

Kaitannya dengan keberagaman, pawai kesenian bersifat merangkul seluruh kebudayaan yang ada sehingga tentunya tidak membatasi jenis atau lapisan masyarakat apa saja yang boleh berpartisipasi di dalamnya. Pawai kesenian ini menjadi salah satu ajang asosiasi budaya-budaya di Indonesia. Adapun makna dan tujuan pawai kesenian ini adalah perbedaan bukanlah suatu potensi konflik, melainkan dasar untuk bersatu dan saling toleransi. Terakhir, karya seni Jodang juga turut diperlihatkan sebagai salah satu rangkaian tradisi Grebeg Sudiro.

Jodang adalah miniatur tempat ibadah yang mencakup seluruh agama di Indonesia, mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, sampai Khong Hu Chu. Jodang juga dapat diartikan sebagai wadah makanan yang digunakan saat kirab, berbentuk miniatur Balai Kota dan Jembatan Keris Tirtonadi (www.radarsolo.co.id).

Dalam pembuatannya, jodang (miniatur tempat ibadah) memiliki makna simbolik, yaitu bentuk toleransi dan kerukunan beragama. Jodang ini nantinya diarak bersamaan dengan gunungan. Unsur kebinekaan semakin nampak dari pemikul Jodang yang merupakan sembilan pemuda berbusana layaknya pemuka dari tiap-tiap agama. Amanat yang termuat dalam miniatur jodang secara khusus mengomunikasikan sikap kerukunan antarumat beragama yang tentunya disertai dengan rasa hormat dan saling mengasihi sebagai warga negara Indonesia yang berinteraksi dengan keanekaragaman. Begitulah kayanya tradisi budaya Indonesia. Meskipun etnis Tionghoa dipandang sebagai golongan minoritas, namun eksistensinya patut diperhitungkan.

Budaya mereka bukanlah milik mereka semata, melainkan sudah mendarah dan menjadi budaya lokal, budaya Wong Solo. Artinya budaya ini telah menjadi bagian dari budaya nasional Indonesia.

Kekayaan budaya inilah yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia yang dapat memperkokoh persatuan bangsa. Sesuai dengan julukan Solo sebagai Kota Budaya. Grebeg Sudiro dalam kaitannya dengan pluralitas masyarakat secara jelas diperlihatkan dari empat simbol, yaitu gunungan, pawai kesenian, jodang, sampai tematik tahunan.

Adaptasi budaya sebagai salah satu perwujudan keharmonisan dalam keberagaman menjadikan alasan kegiatan ini patut dipertahankan. Penyebabnya, keberagaman memang seharusnya dimaknai dalam artian yang positif.

Siswa SMAN 4 Solo
Juara Harapan II Lomba Esai

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya