SOLOPOS.COM - Al Iklas Kurnia Salam (FOTO/Ist)

Al Iklas Kurnia Salam (FOTO/Ist)

Mahasiswa Pendidikan Bahasa
Sastra Indonesia dan Daerah
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ada beberapa hal yang menggelisahkan saya ketika merenungkan permasalahan dalam dunia pendidikan. Kegelisahan saya itu berujung pada suatu pertanyaan klasik yang masih sulit untuk dijawab: Apakah pendidikan kita saat ini masih mampu ”mencetak manusia-manusia baik” bagi generasi mendatang? Apakah pendidikan kita masih menjadi bagian dari solusi permasalahan bangsa? Atau jangan-jangan pendidikan kita malah telah berubah menjadi bagian dari permasalahan?
Beberapan kegelisahan saya tersebut setidaknya cukup relevan dengan opini Sobiatun di Mimbar Mahasiswa SOLOPOS edisi Selasa (8/5) yang berjudul Sanksi Setengah Hati Untuk Plagiator.  Saya dan Sobiatun sama-sama gelisah melihat begitu banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Kami resah terhadap kesenjangan yang terjadi antara teori yang diajarkan dalam kelas dan praktik yang di lakukan dalam keseharian.
Di kampus, kami di ajarkan bahwa plagiarisme adalah sebuah kejahatan. Plagiarisme sama dengan korupsi. Maka tidak mengherankan di dalam kampus kami banyak dipasang plakat dan baliho yang berisi kecaman terhadap plagiarisme. Namun, bagaimana praktiknya? Anda bisa lihat dan baca sendiri praktik itu di beberapa media massa. Seorang guru besar Universitas Muhamadiyah Surakarta (UMS) terlibat dalam skandal plagiarisme. Ironis!

Wabah
Skandal plagiarisme yang melibatkan guru besar atau akademisi kampus, seperti dalam kasus UMS beberapa waktu lalu, sebenarnya bukan kasus baru dan asing bagi dunia pendidikan kita. Kita telah sering menemukan data-data yang menunjukkan kejahatan intelektual itu. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa ada 21 perguruan tinggi yang tersangkut praktik plagiarisme yang dilakukan (calon) guru besar.
Perguruan tinggi itu antaralain Universitas Hasanudin (Unhas), Universitas Andalas (Unand), Universitas Indonesia (UI), Universitas Brawijaya (Unibraw), Universitas Lampung (Unila), Universitas Jambi, Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Mataram, Universitas Sebelas Maret (UNS), Universitas Sam Ratulangi (Unsamrat), Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Universitas Udayana dan Universitas Sumatra Utara (USU).
Lalu, Universitas Pattimura (Unipatti), Universitas Negeri Gorontalo, Universitas Negeri Medan (Unimed), Universitas Negeri Makassar, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Kasus plagiarisme juga dapat kita temukan pada pemberitaan awal tahun 2000. Ipong S Azhar, seorang doktor dan juga kolumnis berbagai media massa, terindikasi telah melakukan plagiarisme disertasi. Buku hasil disertasinya yang berjudul Radikalisme Petani Masa Orde Baru: Kasus Sengketa Tanah Jenggawah merupakan hasil plagirisme skripsi Mochammad Nurhasim, peneliti  di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Selain itu pada 2 Maret 2012, Koran Tempo mencatat kasus plagiarisme di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang dilakukan oleh tiga orang dosen sekaligus.
Bagi beberapa pesakitan intelektual itu, sanksi tegas telah diberikan. Ipong S Azhar diberi sanksi pembatalah gelar doktor dan telah masuk dalam daftar hitam beberapa media massa. Sedangkan tiga dosen UPI tidak hanya diberi sanksi tidak boleh mengajar selama tahun tahun di pascasarjana tapi juga dihadiahi penurunan pangkat dan jabatan serta pengguguran kenaikan promosi guru besar mereka.

Sering kali pemberitaan mengenai kasus plagiarisme mengindikasikan bahwa ada hal yang lebih besar dari sekadar faktor ”orang-orang tertentu”. Kasus plagiarisme hendaknya tidak dipandang hanya sebagai bentuk kesalahan personal-individual. Masalah plagiarisme merupakan masalah besar yang menyangkut tradisi intelektual dan budaya malu.
Dalam perspektif tradisi intelektual, skandal plagiarisme bisa jadi merupakan implikasi dari tradisi sontek-menyontek yang telah dimulai sejak Sekolah Dasar (SD). Kita begitu takjub saat Ujian Nasional (UN) tingkat SD diduga menyimpan banyak praktik kecurangan. Kita juga heran saat seorang siswa SD di Surabaya terpaksa mengungsi ke rumah sanak-kerabatnya karena berani berkata jujur.
Siswa SD itu berani berkata bahwa ia dipaksa oleh seorang guru untuk membagikan jawaban UN kepada teman-temanya. Lalu di mana letak budaya malu bangsa ini? Apakah telah lenyap dimakan oleh keserakahan yang dimulai sejak dini? Lantas apa yang bisa kita perbuat? Apakah hanya sekadar memberi sanksi pada sang plagiator serta membeli alat pemindai untuk menilai otentisitas sebuah karya? Saya kira hal itu tidak cukup.
Kita memerlukan langkah-langkah strategis untuk memperbaiki dunia pendidikan. Kita memang harus menghukum para plagiator dengan sanksi maksimal. Tapi, kita jangan lupa bahwa kita harus menciptakan budaya intelektual yang mapan dan berkualitas. Polemik-polemik keilmuan yang telah makin sepi seharusnya mulai dibangkitkan. Laku baca-tulis-diskusi semestinya dihidupkan kembali dalam dunia akademis.
Jika pemberian sanksi kepada plagiator tidak diiringi dengan pembentukan budaya intelektual yang mapan dan berkualitas, saya khawatir plagiarisme akan tetap marak. Kerja intelektual yang didukung dengan iklim yang mencerdaskan mudah-mudahan merupakan obat mujarab bagi monster mengerikan bernama plagiarisme. Mungkin begitu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya