SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, JAKARTA — Penolakan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual dipertanyakan. Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan penolakan pada RUU tersebut baru muncul setelah Debat Pilpres 17 Januari 2019 lalu.

Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin di Jakarta, Rabu (6/2/2019), mengatakan pada Desember 2018 lalu saat bergerak bersama untuk mendesak DPR membahas RUU itu, tidak banyak reaksi yang muncul.

Promosi Kuliner Legend Sate Klathak Pak Pong Yogyakarta Kian Moncer Berkat KUR BRI

Baru pada awal Januari 2019 muncullah reaksi dari DPR dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk membahas dan mengesahkan RUU itu.

“Tiba-tiba karena sibuk pilpres, habis debat capres, tiba-tiba hanya dalam tiga hari itu penolakan tersebar cepat. Bahkan sebelum ada [petisi di] Change.org itu sudah tersebar cepat,” ujar Mariana.

Dari kronologi tersebut, Komnas Perempuan melihat pola situasi politik mempengaruhi kecenderungan masyarakat untuk menyimpulkan substansi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan lebih mudah untuk dihasut. “Di saat pilpres tentu saja efektif untuk memainkan bola panas itu di masyarakat,” kata dia lagi.

Ia menegaskan urgensi dari pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah karena terdapat banyak hambatan yang dialami korban kekerasan seksual, terutama perempuan dan anak dalam mengakses pemulihan dan keadilan. Tidak adanya perlindungan hukum menyebabkan para korban kekerasan seksual dan keluarganya mengalami penderitaan terus menerus.

Sementara hukum yang berlaku hanya menempatkan kasus kekerasan seksual sebagai kasus kesusilaan, bukan sebagai kasus kejahatan. Sepanjang 2013-2017, Komnas Perempuan menerima laporan 28.019 kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak-anak yang terjadi di ranah pribadi atau personal maupun komunitas atau publik.

Terdapat 15.068 kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalam rumah tangga, dan terdapat 12.951 kasus kekerasan seksual terjadi di ranah komunitas.

Dulu Terlibat

Putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Inayah Wulandari Wahid, juga mempertanyakan penolakan Fraksi PKS DPR atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, padahal dulu terlibat dalam inisiasi RUU tersebut.

“Fraksi PKS itu ada di dalam pembuatan dari awal. Mereka ada di situ. Jadi kalau kemudian ngomongnya baru sekarang, kemarin-kemarin ke mana aja, Pak?” ujar Inayah Wahid, di Jakarta, Rabu.

Ia merasa tidak habis pikir dengan Fraksi PKS yang mementahkan RUU itu, di saat dinilai perlu untuk segera disahkan karena Indonesia dalam darurat kekerasan seksual berdasarkan catatan Komnas Perempuan. Apabila Fraksi PKS keberatan dengan usulan pasal tertentu, selama masih rancangan UU, tentu masih terbuka jalan untuk memberikan masukan.

Miskonsepsi karena hoaks terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terjadi, sehingga Inayah meminta masyarakat membaca rancangan UU yang sebenarnya. “Saya sangat berharap masyarakat itu benar-benar baca supaya tahu bahwa memang tidak ada pasal-pasal yang kemudian soal zina, LGBT atau apa pun itu,” kata dia lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya