SOLOPOS.COM - Ilustrasi (dishub-surakarta.com)

Ilustrasi (dishub-surakarta.com)

PASAR KLIWON-Para pedagang kaki lima (PKL) Beteng Utara mengendus adanya kecurangan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Solo atas penataan konsep PKL di kawasan Gladak Langen Bogan (Galabo) ke depan. Sebab, selama ini pedagang merasa tidak pernah diajak berembuk untuk membahas hal tersebut.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Berdasarkan informasi di lapangan, petugas dari Disperindag Kota Solo beberapa hari lalu melakukan pendataan terkait PKL yang sekarang menempati lokasi darurat. Anehnya, pendataan itu difokuskan pada pedagang mie ayam dan bakso. Sedangkan pedagang non kuliner tidak terdata. Padahal di lokasi tersebut, beragam pedagang non kuliner dengan tekun menjajakan barang dagangannya sejak awal berdirinya PKL di Jl Mayor Sunaryo. “Pendataan itu maksudnya apa. Kalau mendata PKL, kan bisa datang untuk minta data di kantor Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) bagian PKL. Mengapa harus kemari, lagipula pendataan itu tidak merata,” jelas Wakil Ketua Paguyuban PKL Beteng Utara, Siska, saat berbincang dengan Espos, Senin (15/10/2012).

Siska mencurigai ada ‘permainan’ yang dapat merugikan puluhan PKL Beteng Utara. Sebab, dari awal konsep penataan PKL ke depan tidak jelas. Menurutnya, data PKL Beteng Utara sekitar 70-an pedagang. Sedangkan informasi yang berkembang, Pemerintah Kota (Pemkot) Solo hanya membangun selter yang difungsikan bagi 57 pedagang. Puluhan selter tersebut dirancang khusus pedagang kuliner. “Berarti ada belasan PKL non kuliner yang terancam digusur. Padahal dari dulu, pengurus DPP tidak memermasalahkan antara PKL kuliner dan non kuliner. Hla ini ada penataan kok malah merugikan pedagang,” papar Siska dengan nada menggebu.

Siska mengatakan setiap perencanaan dan pengelolaan yang dilakukan dinas terkait, semestinya PKL turut dilibatkan. Landasan hukumnya mengacu pada peraturan daerah (Perda) No 3 tahun 2008 tentang pengelolaan PKL. Menurutnya, dalam Perda dikatakan bahwa pedagang dilibatkan dalam kebijakan perencanaan dari awal hingga akhir, asalkan tidak mengganggu tata ruang kota. “Kewajiban Pemkot seharusnya mengajak pedagang untuk berembuk bagaimana membikin konsep selanjutnya. Pedagang itu subyek bukan benda mati. Lagi pula, selama ini kami menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) Kota Solo senilai Rp280 juta per tahun,” paparnya.

Sementara itu, seorang pedagang bakso, Manto, 58, mengaku bingung dengan pendataan tersebut. “Informasinya pedagang bakso dan mie ayam akan diberi gerobak khusus. Apakah itu benar atau enggak saya belum tahu. Katanya gerobak itu mau dilubangi untuk tempat dandang. Tapi tiap pedagang mempunyai ukuran sendiri, kok ini disamakan,” papar Manto penuh ragu saat ditanya Espos.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya