SOLOPOS.COM - Ilustrasi rapat paripurna DPR (Dok/JIBI/Antara)

Solopos.com, JAKARTA – Revisi UU DPR, MPR dan DPRD (MD3), yang salah satu isinya mengubah mekanisme pemilihan pimpinan DPR dari sistem proporsional menjadi sistem paket dinilai tidak etis jika dilihat dari kacamata politik.

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI), Refly Harun, mengatakan bila dilihat dari sisi hukum, revisi tersebut sah-sah saja karena pengambilan keputusan ditentukan secara musyawarah atau suara terbanyak. Namun secara etika, cara tersebut tidak sehat karena pengajuan revisi dilakukan setelah partai pemenang pemilu legislatif (pileg) diketahui.

Promosi Jelang Lebaran, BRI Imbau Nasabah Tetap Waspada Modus Penipuan Online

“Karena UU MD3 ini diajukan setelah hasil pemilu diketahui. Seharusnya, jika mau membuat kesepakatan dilakukan sebelum pemenang pileg diketahui. Jika seperti ini kan indikasinya pasti untuk menjegal partai pemenang pemilu,”katanya saat dihubungi Bisnis/JIBI, Minggu (13/7/2014).

Ekspedisi Mudik 2024

Menurutnya, mekanisme revisi UU MD3 sebaiknya direncanakan sebelum partai pemenang pemilu ditetapkan, seperti pada pemilu 2009 lalu ketika Partai Demokrat menjadi mayoritas pemegang kursi di DPR. “Memang, lima tahun lalu juga ditetapkan setelah pemilu, tapi drafnya sudah disiapkan sebelumnya. Sehingga saat itu PDIP mau tidak mau mengikuti revisi yang dilakukan Demokrat,” katanya.

Dengan situasi seperti ini, Refly mengatakan PDIP selaku partai pemenang pemilu akan dirugikan. Karena meski telah ditambah koalisinya, PKB dan Hanura, suara PDIP belum cukup untuk menandingi jumlah suara mesin koalisi merah putih atau partai pendukung Prabowo Subianto.

“Sederhananya ini kan sistem voting, maka yang bisa menggalang suara di DPR lah yang pasti menang. Meskipun sekarang mesin koalisi Prabowo lebih banyak suara, namun belum tentu PDIP akan kalah. Karena jika Jokowi terpilih menjadi presiden, kemungkinan Golkar akan berpindah dukungan,” jelasnya.

Seperti yang diketahui, revisi UU MD3 yang disahkan pada 8 Juli 2014 lalu menjelaskan mengenai mekanisme pemilihan pimpinan DPR dari sistem proporsional menjadi sistem paket. Sistem proporsional berarti partai pemenang pileg yang memiliki mandat, sedangkan sistem paket merujuk pada anggota DPR memilih pimpinan berdasarkan partai politik.

Penentuan perubahan UU MD3 tersebut dilakukan secara voting. Enam partai yang tergabung dalam koalisi Prabowo-Hatta, yaitu Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PPP, dan PKS mendukung sistem paket, sedangkan yang menolak perubahan sistem proporsional menjadi sistem paket merupakan partai yang tergabung dalam koalisi Jokowi-JK, yaitu PDIP, PKB dan Hanura.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya