SOLOPOS.COM - Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar (Dok/JIBI/Solopos/Antara)

Solopos.com, JAKARTA — Pemandangan berbeda terlihat di Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Senin (23/6/2014). Ada delapan perempuan yang usianya melebihi setengah baya dengan mata berkaca-kaca meminta Bawaslu untuk memeriksa Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dinilai enggan mengecek dugaan perbuatan tercela calon presiden nomor urut 1, Prabowo Subianto.

Delapan wanita tersebut merupakan ibu dari korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) 1998 . Didampingi Gerakan Melawan Lupa yang terdiri dari 23 organisasi masyarakat sipil, seperti Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Setara Institute, Imparsial, dan lainnya, mereka meminta Bawaslu menindaklanjuti perbuatan KPU yang dianggap melanggar undang-undang.
“Pada 31 Mei 2014, KPU meloloskan Prabowo Subianto sebagai capres. Keputusan ini tidak cermat dan melanggar hukum karena tidak mempertimbangkan masukan masyarakat yakni para korban pelanggaran HAM serta tidak mempertimbangkan berbagai dokumen hukum,” kata Koodinator Kontras, Haris Azhar, di Media Center Bawaslu, Jakarta, Senin.
Dokumen hukum yang dimaksud antara lain Surat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira KEP/03/VIII/1998/DKP tentang pemecatan Prabowo Subianto yang terlibat dalam penculikan aktivis, Keputusan Presiden Republik Indonesia No.62/ABRI/1998 yang memberhentikan Prabowo dari dinas militer, penyelidikan Komnas HAM yang mengalami kendala di Kejaksaan Agung, rekomendasi Presiden RI pada tahun 2009 untuk membentuk pengadilan HAM Ad Hoc, dan Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta 1998.
Haris Azhar mempertanyakan kerja KPU yang tidak melakukan verifikasi  ke institusi yang bersangkutan yang telah mengeluarkan dokumen hukum untuk memproses dugaan pelanggaran HAM masa lalu oleh Prabowo. Pasalnya, peraturan KPU tentang persyaratan menjadi capres salah satunya adalah tidak melakukan tindakan tercela atau perbuatan pidana.
Selain itu, KPU dinilai telah mengabaikan partisipasi masyarakat dalam memberikan usulan bakal pasangan calon presiden seperti yang diatur dalam Peraturan KPU No. 15/2014 pasal 31 tentang pencalonan dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
“Kontras pernah memberi masukan secara langsung, lisan dan tertulis pada KPU 14 Maret 2014 dan 2 Juni 2014 untuk memeriksa kembali bakal calon presiden yang terlibat pelanggaran HAM dengan menggunakan laporan ibu korban pelanggaran HAM tersebut,” katanya.
Salah satu ibu korban, Rusmiyati, meminta Bawaslu memproses keputusan KPU untuk meluruskan permasalahan HAM yang belum dapat dia terima. “Saya minta Bawaslu mengusut ini, kami ingin pengakuan dan kelurusan pelanggaran HAM yang dilakukan kepada anak-anak kami, jika terbukti seharusnya tak bisa maju jadi presiden,”katanya.
Rusmiyati yang tinggal di Cipinang ini menceritakan sedikit tentang anak laki-lakinya yang saat itu berumur 14 tahun yang ditemukan gosong saat kerusuhan di Mal Jogja Klender pada 1998. Dia mendapati jasad anaknya yang hangus, namun pakaiannya tidak habis seutuhnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo 16 tahun silam.
Menanggapi laporan ini, anggota Bawaslu Nelson Simanjuntak mengatakan setiap laporan yang masuk pasti akan diproses melalui mekanisme Rapat Pleno. Namun, dia mengatakan kemungkinan kasus ini terlambat untuk diproses. “Ada batas waktu yang diatur dalam undang-undang. Jika ingin melapor, batas waktunya tiga hari sejak peristiwa yang dilaporkan,” katanya.

Promosi Usaha Endog Lewo Garut Sukses Dongkrak Produksi Berkat BRI KlasterkuHidupku

Ekspedisi Mudik 2024
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya