SOLOPOS.COM - Ilustrasi transaksi politik uang (JIBI/Solopos/Dok.)

Pilkada Sragen 2015 dilaksanakan sesuai tahapan. 

Solopos.com, SRAGEN – Sebagian warga mengharapkan politik uang melalui serangan fajar dari calon kepala daerah. Padahal praktik lancung itu tergolong suap.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Wagiyo, 58, seorang tukang becak yang mangkal di kawasan Pasar Kebo, Jl. Letjen Sutoyo, Sragen mengetahui Pilkada Sragen sudah di depan mata.

Namun, dari empat pasangan calon yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sragen, hanya satu calon yang diingatnya. Calon yang diingat Wagiyo pernah memberi bantuan semen sejumlah sak ke dukuhnya belum lama ini.

“Biasanya pemberian itu dalam bentuk barang atau bantuan kas untuk RT. Jadi warga tidak menikmati. Berbeda dengan pilihan kepala desa, saya pernah dapat uang dari tiga calon masing-masing Rp50.000. Karena ngasih sama, ya pilih yang sesuai keinginan. Kalau ada yang ngasih lebih, pasti calon itu yang dipilih,” kata warga Bulaksari RT 001/RW 001, Desa Tangkil, Kecamatan Sragen Kota saat mengobrol dengan , Kamis (13/8/2015) siang.

Solopos.com juga berbincang dengan Kimin, 60, dan Kardo, 60, warga Desa Tanggan, Kecamatan Gesi, Sragen di pinggir jalan depan Balai Desa Tanggan.

Kimin, 60, warga Jatisari RT 004 Tanggan, duduk di sebelah timur kompleks balai desa. Laki-laki tua itu memakai kemeja batik lengan panjang. Kardo, 60, warga Besoleh RT 005/RW 002 Tanggan, menemani Kimin di tempat itu.

Pakaian linmas lengkap dengan topi warna hijau melekat di tubuh Kardo. Sesekali Kardo harus berdiri untuk memberi salam kepada tamu yang hadir dalam hajatan yang berlangsung di Balai Desa Tanggan.

“Pilkada itu kapan ya? Katanya calonnya hanya dua, yang perempuan sama bupati sekarang. Kok tidak ada apa-apa ya?” demikian kata Kimin saat ditanya tentang Pilkada Sragen.

Kimin mendengar ada empat pasangan calon yang mendaftar ke KPU. Hanya dua yang dia kenal, yakni Kusdinar Untung Yuni Sukowati (Yuni) dan Agus Fatchur Rahman. Kimin belum menjatuhkan pilihan.

Kendati orang desa, Kimin cukup berpengalaman dalam persoalan pilih memilih calon. Kimin pernah menjadi broker suara ketika ada pemilihan kepala desa (pilkades).

“Pilihan itu ke siapa itu tergantung serangan fajarnya berapa? Kebiasaan di desa ya seperti itu. Calon yang memberi uang lebih banyak ya itu yang dipilih warga. Waktu pemilihan anggota DPRD [pemilu legislatif] dan pemilu presiden [pilpres] lalu juga seperti itu. Tapi jagoku di DPRD malah kalah,” kata Kimin.

Uang untuk warga bervariasi mulai Rp10.000 hingga Rp20.000/orang. Dia teringat saat Pilkada 2011 lalu.

“Saat itu ada calon hanya memberi Rp10.000/orang. Tetapi menjelang coblosan ada calon yang ngebom Rp20.000/orang. Akhirnya, pilihan warga lari ke calon yang ngasih Rp20.000/orang itu,” ujar dia.

Kardo mengamini keterangan Kimin. Calon yang tidak memberi uang takkan dipilih. “Kalau saya mau milih ya kari duite [memilih ya tergantung duitnya]. Di desa itu biasanya ya hanya Rp20.000/orang yang paling besar,” tambah Kardo.

Sebagai anggota linmas tingkat desa, Kardo belum pernah mengikuti sosialisasi pilkada. Dia justru mendengar pemungutan suara diadakan September. Padahal berdasarkan tahapan di KPU Sragen, pemungutan suara digelar 9 Desember mendatang.

Bagi Kardo, penentuan pilihan bupati itu tidak hanya didasarkan pada uang tetapi juga melihat figurnya. “Kalau partai politik itu jarang dihafal warga. Biasanya sosok calon bupatinya,” tambah dia.

Supardi, 63, tukang parkir yang tinggal di Kampung Sumengko RT 003/RW 021, Kelurahan Sragen Tengah, berpendapat tanpa uang, pilihan warga tidak bisa diarahkan. “Kalau ada uangnya ya pilih yang ngasih uang itu. Biasanya Rp20.000-Rp25.000/orang,” katanya.

Sikap warga tersebut menimbulkan keprihatinan. Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Sragen, Slamet Basuki, mewanti-wanti jangan sampai suara warga dibeli dengan uang Rp25.000-Rp50.000/orang.

“Kami mengimbau pilihlah pemimpin yang bisa memahami masyarakat. Jangan tergiur dengan iming-iming uang! Saya kira para pasangan calon dan partai politik harus menyadarkan pemilih lewat pendidikan politik. Parpol berkewajiban meluruskan pemilih bukan jlomprongke pemilih,” kata Slamet.

Perilaku transaksional pemilih dalam pilkada dikhawatirkan menjadi budaya. Praktik politik uang (money politics) bukan bentuk komunikasi politik tetapi merupakan suap politik.

Kebiasaan Masyarakat

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Is Haryanto, mengatakan perilaku pemilih transaksional ada di desa maupun kota.

“Yang jadi persoalan siapa pembangun inisiatif politik uang itu? Kalau dibangun elite partai justru sangat disayangkan. Politik uang itu bukan komunikasi politik tetapi suap. Saya khawatir politik uang itu menjadi kebiasaan masyarakat,” kata dia.



Untuk mengubah perilaku itu, kata Is, butuh waktu panjang dan menjadi kewajiban calon untuk mengedukasi masyarakat.

Dia menyatakan antisipasi politik uang itu bisa dilakukan lewat kebijakan transparansi dana kampanye. KPU harus meminta transparansi dana kampanye dari sumber dana dan penggunaannya.

Cabup petahana, Agus Fatchur Rahman, menyatakan politik uang itu haram hukumnya. Agus yang berpasangan dengan Direktur Utama PDAM Sragen, Joko Suprapto, berkomitmen tidak akan melakukan politik uang.

Ora duwe duit. Kuwi [politik uang] haram,” tulisnya melalui Blackberry Messenger yang diterima Kamis malam.

Koordinator Koalisi Sragen Baru (KSB), Rus Utaryono, mengatakan pasangan Jaka Sumanta-Surojogo (Jago) pernah menggandeng tim survei profesional untuk melihat potensi pemilih. Berdasarkan survei itu, Rus menyebut 35% pemilih masih mengandalkan politik uang dalam penentuan pilihan.

“Uang Rp10.000-Rp20.000 sangat berharga bagi mereka. Ya, itulah realitas masyarakat sekarang. Politik uang itu bagian dari pendidikan politik. Kami tim Jago akan melaksanakan proses pilkada dengan baik dan benar. Kami sebenarnya dilematis tetapi kami berkeyakinan politik uang hanya bumbu dalam proses pilkada. Pilkada harus jadi sarana pendidikan politik yang benar bagi masyarakat,” tutur Ketua DPC PPP Sragen itu.

Calon wakil bupati (cawabup) Dedy Endriyatno sudah mengukur dan memotret peta potensi politik uang di Sragen. Dedy hafal daerah-daerah yang berpotensi terjadi praktik politik uang yang tinggi. Namun, Dedy enggan menyebut daerahnya.

“Besar kecilnya nilai uang bisa mengubah pilihan politik. Kami [Yuni-Dedy] sepakat tidak akan berpolitik uang tetapi justru mengantisipasi politik uang. Kami tidak punya modal besar untuk itu. Kami berharap ada komitmen semua calon untuk anti politik uang, bukan sekadar seremonial,” tambah dia.

Cabup Kusdinar Untung Yuni Sukowati (Yuni) menambahkan politik uang merusak demokrasi. “Kalau rakyat memilih berdasarkan uang yang diterima, calon pemimpin merasa sudah membayar dan membeli suara. Kalau jadi pun pemimpin itu tidak akan baik. Jadi, antisipasi politik uang itu tanggung jawab bersama,” pesannya.

Calon dari PDIP dan Partai Demokrat Sugiyamto-Joko Saptono tidak akan berpolitik uang karena melanggar UU. Sugiyamto mengatakan pemimpin yang baik harus diawali dengan cara yang benar.

“Bila langkah pertama salah maka langkah selanjutnya juga salah. Kami lebih menjual program yang dituangkan dalam visi dan misi yang selaras dengan RPJMD [rencana pembangunan jangka menengah daerah]. Saya kira mereka yang masih tergantung politik uang itu belum tahu program Sugiyamto-Joko Saptono. Kami akan bentuk sukarelawan antipolitik uang,” kata Sugiyamto.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya