SOLOPOS.COM - Suasana ngabuburit di Sanggar Keluarga Wartoyo Langgeng Nusantara (SKWL), Desa Tegalgiri, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali, Rabu (27/3/2024) sore. (Istimewa/SKWL)

Solopos.com, BOYOLALI – Alunan gamelan mengiringi sang dalang bermain wayang kulit di salah satu rumah wilayah Desa Tegalgiri, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali, Rabu (27/3/2024) sore jelang berbuka puasa. Puluhan mata terlihat fokus melihat gerakan wayang yang bermain di partikelir.

Arena tempat ngabuburit sekaligus pentas wayang kulit tersebut adalah rumah sekaligus Sanggar Keluarga Wartoyo Langgeng Nusantara (SKWL) Nusantara milik Ki Dalang Wartoyo. Beberapa tetangganya ikut menyaksikan sambil ngabuburit.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pemilik sanggar SKWL, Ki Dalang Wartoyo, menyampaikan ngabuburit sambil pentas wayang kulit menjadi salah satu kegiatan rutin yang ia gelar saat Ramadan. Ia menyampaikan siapa saja bebas menonton pentas wayangnya dan biasanya para tetangga yang melihat pentas wayang sambil ngabuburit jelang berbuka puasa.

“Acara seperti ini kami gelar setiap tahunnya. Hanya satu hari dalam sebulan. Pelaksanaanya menjelang buka puasa. Setelah itu kamibuka puasa bersama dan lanjut salat tarawih berjemaah,” terang dia kepada Solopos.com, Kamis (28/3/2024).

Selanjutnya, Wartoyo menyampaikan lakon yang dipilih dalam acara ngabuburit sambil pentas wayang kulit adalah Lahire Wisanggeni [Lahirnya Wisanggeni]. Lakon tersebut menceritakan kisah lahirnya pemuda yang akan membenahi kehidupan.

Ia mengatakan pergelaran wayang kulit dulunya digunakan para wali untuk syiar agama Islam dan mengenalkan budaya Jawa. Wartoyo pun ingin mengikuti jejak para wali sambil memperkenalkan budaya Jawa kepada tetangga sekitarnya, termasuk generasi muda yang nantinya bertugas melestarikan budaya Jawa.

“Sebagai dalang, saya merasa memiliki kewajiban untuk memperkenalkan seni Jawa terhadap warga dan anak anak,” jelas dia.

Selanjutnya, ia mengatakan untuk semakin memaknai perjuangan para wali menyebarkan agama Islam, kegiatan buka bersama juga digelar dengan cara tradisional. Yaitu dengan makanan untuk buka puasa digelar di atas daun pisang yang memanjang hingga 200 meter.

“Makanan yang disajikan dengan alas daun pisang sengaja kami pilih sebagai perwujudan kebersamaan antarwarga,” jelas dia.

Sementara itu, salah satu warga, Sulastri, mengaku senang dengan adanya ngabuburit sambil menikmati pentas wayang dan dilanjutkan berbuka bersama. Menurutnya, rasa saling memiliki dapat terbentuk dengan makan bersama.

Selain itu, menurutnya acara pentas wayang jelang berbuka juga bisa menjadi salah satu contoh baik bagi anak agar beribadah dan melestarikan budaya bisa berjalan bersama.

“Ini juga unik karena biasanya pentas wayang identik dengan malam hari, kalau di sini sambil menunggu berbuka puasa dimainkan saat sore,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya