SOLOPOS.COM - Ilustrasi pilkada serentak 2017 (Setkab.go.id)

Pilkada serentak di Indonesia akan digelar pada 15 Februari

Harianjogja.com, JOGJA– Keterwakilan perempuan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 anjlok di angka 7,3% dibandingkan calon laki-laki. Budaya patriarki dalam politik berupa praktik mendominasi yang dilakukan oleh laki-laki maupun sistem politik terhadap perempuan masih menjadi biang keladi, perempuan tertinggal dalam politik.

Promosi Komeng The Phenomenon, Diserbu Jutaan Pemilih Anomali

Yayasan Satunama pada Kamis (9/2/2017) merilis hasil penelitian mengenai keterwakilan perempuan dalam pesta demokrasi Pilkada 2017. Pilkada yang akan digelar 15 Februari mendatang di 101 kabupaten, kota dan provinsi akan diikuti sebanyak 620 calon kepala daerah maupun calon wakil kepala daerah. Baik bupati, walikota maupun gubernur.

Dari total 620 calon tersebut, hampir 100% atau sebanyak 575 (92,7%) peserta Pilkada merupakan laki-laki. Sedangkan keterlibatan perempuan baik sebagai calon kepala daerah maupun calon wakil kepala daerah hanya berjumlah 45 orang atau anjlok di angka 7,3%.

Ekspedisi Mudik 2024

“Kami mengumpulkan data peserta Pilkada dari seluruh KPU [Komisi Pemilihan Umum] di Indonesia,” kata Nunung Qomariah, peneliti dari Yayasan Satunama, saat memaparkan hasil riset di Kantor KPU DIY Kamis.

Penelitian ini juga menemukan mayoritas peserta Pilkada berasal dari latar belakang legislator. Baik anggota maupun mantan DPRD, DPR dan DPD. Latar belakang legislasi mencapai angka 16 orang, sisanya merupakan pengusaha, birokrat, pensiunan, aktivis hingga ibu rumah tangga.

Keterwakilan perempuan dalam Pilkada 2017 sejatinya tak mengalami perubahan dibanding Pilkada 2015. Dua tahun lalu, keterwakilan perempuan dalam Pilkada juga anjlok di angka yang sama 7,3%. Saat itu, ada sebanyak 1.656 peserta yang bertarung. Sebanyak 1.535 peserta merupakan laki-laki sedangkan perempuan hanya 121 orang.

Menurut Nunung, penelitian yang dilakukan sejak Desember tahun lalu itu juga menunjukkan adanya indikasi budaya patriarki yang menyebabkan perempuan terjegal dalam bidang politik seperti Pilkada.

“Patriarki di sini merupakan suatu sistem yang mengontrol maupun mendominasi perempuan. Tidak hanya laki-laki yang bertindak dominan tapi juga elit atau lingkar kekuasaan yang dominan [sehingga menyebabkan perempuan tidak bisa terwakili dalam pentas politik],” tutur dia.

Indikasi patriarki yang merugikan perempuan dalam Pilkada 2017 lebih jelas dapat dilihat dari sejumlah indikator. Antara lain sistem politik yang dominan seperti permodalan. Selama ini modal menjadi salah satu syarat utama untuk maju Pilkada.

Perempuan yang tak memiliki modal besar meski berkapasitas baik potensial terjegal. Padahal di tingkat kehidupan rumah tangga, pemegang uang atau kepemilikan modal lebih banyak dikuasai  laki-laki.

Patriarki juga terjadi akibat lingkar kekuasaan yang mempengaruhi banyak tidaknya keterwakilan perempuan dalam Pilkada. Dalam Pilkada 2017, riset Satunama menemukan sebanyak 24,4% atau 11 perempuan yang maju dalam Pilkada memiliki kedekatan dengan elit dominan.

Elit dominan yang dimaksud antara lain pimpinan partai politik, mantan kepala daerah yang masih memiliki pengaruh maupun organisasi masyarakat. Bahkan sebanyak 16 dari total 45 perempuan peserta Pilkada merupakan anggota atau mantan anggota legislatif.

Komisioner KPU DIY Farid Bambang Siswantoro mengatakan, budaya patriarki di tingkat pemilih atau masyarakat juga menyebabkan perempuan tertinggal dalam politik. “Kita tahu sosial budaya dan agama itu tidak berpihak pada perempuan dalam politik, misalnya anggapan pemimpin tidak boleh perempuan. Itu harus diakui menyebabkan perempuan kalah jauh dibanding laki-laki [dalam pentas Pilkada],” ujar Farid Bambang Siswantoro.

Persoalan perspektif gender yang belum beres di tingkat pemilih tersebut menurut Farid berpengaruh pada peluang perempuan maju dalam Pilkada. Elit partai politik juga tidak akan memprioritaskan perempuan untuk maju lantaran terganjal masalah tingkat keterpilihan atau elektabilitas.

Padahal menurut Farid, banyak contoh pembangunan di masyarakat yang melibatkan perempuan serta pemikirannya justru lebih baik ketimbang laki-laki. Ikhwal pentingnya keterwakilan perempuan dalam politik maupun pembangunan juga ditekankan oleh Nunung Qomariyah.

Dalam proses demokrasi semua kelompok harus terwkaili baik laki-laki maupun perempuan. Berbagai riset menunjukkan baanyak perempuan acap kali lebih memahami pembangunan yang menyangkut hidup mereka ketimbang laki-laki.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya