SOLOPOS.COM - Bakal calon gubernur DKI Sandiaga Salahuddin Uno menyapa warga pada kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat di Jl. Cendrawasih Kelurahan Sukabumi Utara, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Selasa (29/3/2016). (JIBI/Solopos/Antara/Fauziyyah Sitanova)

Negosiasi antar-elite parpol non-Ahok diyakini berjalan alot sehingga sulit menemukan jagoan untuk melawan Ahok-Djarot.

Solopos.com, JAKARTA — Koalisi non pengusung petahana nampaknya kesulitan dalam mencari sosok ideal yang dianggap pantas menyaingi pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot). Pasalnya, hingga pukul 19.10 WIB koalisi tersebut tak kunjung menyebutkan siapa yang kelak akan diusung di Pilkada Jakarta 2017.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hal itu pun lantas membuat publik bertanya-tanya, apakah terjadi perdebatan sengit dalam pembahasan internal koalisi non Ahok? Pengamat politik Zaenal Budiono memandang wajar terjadi tarik ulur dalam sebuah koalisi untuk menentukan sosok yang akan diusung di pemilu maupun pilkada.

Ekspedisi Mudik 2024

“Yang pasti terjadi tarik ulur dan negosiasi antar partai karena masing-masing ingin jagoannya yang maju. Ini biasa terjadi dalam politik,” ujar Zaenal saat dihubungi, Kamis malam (22/9/2016).

Namun, lanjutnya, karena publik menunggu nama terbaik, maka diharapkan para elite parpol bisa lebih bijaksana dalam menentukan sosok calon yang akan diusung dan mengedepankan kepentingan yang lebih besar. “Selain itu juga memastikan memilih nama yang memiliki kapasitas melawan incumbent,” lanjutnya.

Sosok Ahok dan Djarot memang lebih unggul jika dibandingkan dengan calon-calon lainnya dalam berbagai survei. Karena itu, menurutnya, akan lebih baik jika para elite di koalisi tersebut harus secepatnya menemukan konsensus untuk hanya mengusung satu pasangan calon.

Dengan demikian, bergabungnya Gerindra, PKS, Demokrat, PPP, PKB, dan PAN secara psikologi politik akan membuat pasangan yang diusung nanti merasa percaya diri. Jika ditotal, koalisi ini memiliki dua kursi lebih banyak dibandingkan dengan partai pengusung petahana yang hanya memiliki 52 kursi.

“Hanya saja kebiasaan elite di negeri ini, sulit sekali mencapai kata sepakat—terutama kerelaan untuk mengalah demi menghasilkan calon yang terbaik dan berpeluang menang. Terbaik dalam arti memiliki kapasitas dan program nyata sebagai pemimpin Ibukota,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya