SOLOPOS.COM - Husni Arifin, praktisi komunikasi tinggal di Jakarta

Husni Arifin, praktisi komunikasi tinggal di Jakarta (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Pencalonan Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi) dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta menjadi perbincangan masyarakat luas. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa yang melatarbelakangi pencalonan tersebut? Memang banyak hal yang tidak nyambung antara figur Wali Kota Solo itu dengan jabatan Gubernur DKI Jakarta.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pertama, Jokowi sudah demikian mapan di Solo. Prestasinya sebagai wali kota sungguh bagus di mata warganya. Itu pula yang membuat namanya begitu populer, bahkan melampaui batas kota hingga menjadi perbincangan masyarakat secara nasional. Orang di berbagai daerah pun mendambakan sosok pemimpin seperti dia. Jabatannya sebagai wali kota pun masih beberapa tahun lagi.

Kedua, secara geografis dan kultural, Solo identik dengan Jawa Tengah. Gaya kepemimpinan Jokowi pun begitu njawa dan berhasil dia terapkan di tengah masyarakatnya yang juga Jawa. Banyak orang menilai dialah sosok yang paling ideal untuk jabatan gubernur Jawa Tengah. Tak mengherankan jika sejak jauh-jauh hari pula Gubernur Jateng Bibit Waluyo (yang bisa dipastikan akan maju lagi dalam pemilihan gubernur Jawa Tengah mendatang) demikian sewot dengannya.

Ketiga, Jokowi tidak punya akar di Jakarta. Antara Solo dengan Jakarta hampir-hampir tidak ada benang merah yang bisa menghubungkan secara kuat. Kedua kota ini sangat berbeda dari berbagai sisi, beda provinsi, beda kultur masyarakatnya, beda ukuran luas, beda problematika.

Keempat, karakter Jokowi yang kalem bertolak belakang dengan Jakarta yang keras. Selama ini kursi gubernur Jakarta selalu diduduki oleh sosok yang terlihat keras dan punya dukungan dari organisasi yang bercitra keras. Apakah Pak Wali Kota Solo ini sudah punya dukungan yang kuat selain dukungan politik dari PDIP dan Partai Gerindra?

Kelima, Jokowi jauh dari pergaulan masyarakat Betawi. Siapa pun gubernur DKI Jakarta biasanya punya kedekatan dengan masyarakat Betawi. Meskipun jelas-jelas Jakarta dihuni semua suku, tetapi selama ini faktor Betawi selalu sengaja ditonjolkan dalam setiap suksesi gubernur DKI. Biasanya, kalaupun tidak menjadi pengurus organisasi massa Betawi, calon gubernur Jakarta jauh-jauh hari sudah merangkul komunitas masyarakat asli Jakarta ini.

Sejak suksesi kepala daerah dilakukan melalui suatu pemilihan kepala daerah (pilkada), jabatan bupati/walikota dan gubernur menjadi sangat politis. Proses politiklah yang akan menjadi penentu terpilihnya seseorang menjadi kepala daerah. Sayangnya, proses politik selalu serba abu-abu alias tidak mampu memberi jaminan kepastian tujuan, antara riil demi memperjuangkan kepentingan publik atau demi kepentingan kelompok politiknya sendiri.

Dengan serba tidak bersambungnya faktor Jokowi dengan faktor Jakarta, apakah pencalonan Wali Kota Solo itu demi hasrat meneruskan pengabdiannya di wilayah lain yang lebih luas dan kompleks persoalannya, atau demi tujuan kelompok politik pengusungnya? Di hadapan media massa, Jokowi sempat menyatakan bahwa pencalonannya di DKI merupakan tugas negara karena partai menugaskannya.

Secara personal, Jokowi sendiri adalah sosok kepala daerah yang unik. Dia berhasil membuktikan bahwa seorang kepala daerah yang tepat akan benar-benar mampu memberikan solusi atas persoalan yang dibutuhkan warga kotanya. Solusi-solusi itu pada akhirnya meringankan warga untuk memperbaiki kualitas hidup. Hal ini menjadi unik karena secara nyata Jokowi adalah “orang partai politik”. Padahal, publik negeri ini sudah telanjur memberi cap negatif pada “orang partai politik” sebagai pencari keuntungan pribadi dan kelompok politiknya dengan mengatasnamakan rakyat.

Latar Belakang Politik
Untuk warga Solo atau Jawa Tengah, bisa jadi keberhasilan dan kewibawaan Jokowi bisa terlihat jelas. Mereka tak meragukan komitmen kepemimpinan Pak Wali Kota ini. Dia jelas sudah membuktikannya. Namun, untuk publik Jakarta yang sangat majemuk, semua keunggulan Jokowi bisa jadi kurang terasa. Latar belakang politiknya yang justru sangat jelas.
Dia diusung oleh PDIP dan Partai Gerindra. Publik yang kritis akan mengategorikannya tidak berbeda dengan sejumlah kepala daerah lain yang diusung oleh kedua partai itu, juga jagoan partai lainnya. Contohnya, ketika PDIP mendeklarasikan Jokowi sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, KPK sedang memburu mantan Walikota Bekasi yang diputus Mahkamah Agung bersalah karena kasus korupsi. Terpidana yang sempat lari ke Bali ini dulunya didukung partai politik juga.

Mungkin partai politik memang bukan cerminan perilaku kepala daerah yang diusungnya, begitu pula sebaliknya. Namun, bicara soal pilkada, banyak sekali rumor yang menuturkan adanya transaksi-transaksi politik dan uang di balik pencalonan seseorang oleh partai politik. Rumor seperti itu juga sempat kencang terdengar menjelang pilkada DKI sebelumnya.

Secara logika, hal ini pun sangat mungkin terjadi karena pencalonan melalui partai politik berarti juga akan mendapatkan dukungan politik, termasuk dalam berhadapan dengan legislatif jika akhirnya terpilih. Kampanye pun akan didukung para tokoh-tokoh partai ternama. Tidak aneh jika ada sindiran umum, pada tahun-tahun pertama menjabat, seorang kepala daerah akan “mengembalikan dulu modalnya”.

Siapa pun calon gubernur yang terpilih nanti, pasti warga DKI ingin seseorang itu mampu memecahkan persoalan yang sangat kompleks dan akut di Ibu Kota. Jabatan Gubernur DKI Jakarta seharusnya tidak lagi menjadi sarana permainan politik kalangan oportunis. Parpol mana pun harus mencalonkan orang yang benar-benar punya kompetensi, bukan petualang politik. Dengan begitu, siapa pun yang harus dipilih dalam pilkada, warga DKI tidak terjebak dalam permainan politik kotor.

Meski diusung partai politik, Jokowi sudah membuktikan diri mampu menjalankan tugas yang semestinya dilakukan seorang kepala daerah. Dia tidak hanya tidak korupsi. Dia bahkan berhasil menjadikan kotanya benar-benar layak huni bagi semua lapisan warga. Dia melayani warga, dan hasilnya warga percaya dan menjadikannya panutan.

Kini, kalau dia juga ingin memimpin Jakarta, dia harus menjadi pemimpin seperti ketika selama ini memimpin Kota Solo. Tidak boleh ada motif politik yang tidak berorientasi pada pelayanan publik karena tidak ada waktu lagi untuk tidak serius dalam memimpin Jakarta. Jika dia main-main, Jakarta akan menggulungnya hingga habis, beserta semua prestasinya selama ini. Parpol pengusungnya pun tak akan membelanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya